welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Senin, 16 November 2009

Bahasa Amburadul

'Dek, aku siram dhisik..' teriakku pada adek sepupuku dari ujung pintu kamar. Kala itu, menjelang waktu ashar. Biasanya kami selalu berangkat bersama ke KM, pi karena ada hajat mendesak aku pamit meninggalkannya. 'Kok lucu sih mbak ngomongnya..' sahutan seorang teman sekamarku -yang ternyata diam-diam memperhatikanku- menghentikan langkah cepatku. Aku dan adekku mengerutkan dahi. 'Iya, masa bwt diri sendiri aja pake bahasa kromo inggil!' dia melanjutkan..Hmmm, bener juga. Siram memang adalah bahasa jawa tingkat tinggi berarti mandi yang biasanya diperuntukkan orarg yang lebih tua.
Aku jadi sadar kalau bahasa jawa yang sehari-hari kugunakan ternyata amburadul, melenceng sangat jauh dari pakem yang berlaku. Bahasa yang berlaku di keluargaku adalah modifikasi bahasa jawa, yaitu kolaborasi dari bahasa jawa kromo dan ngoko dengan campuran beberapa kosa kata bahasa indonesia yang sudah diadopsi menjadi bahasa jawa. Secara keseluruhan, bahasa kami terdengar aneh bagi mereka yang 'jawa banget'.
Yang paling sulit bagiku adalah ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua atau mereka yang harusnya ku hormati dengan penggunaan bahasa kromo inggil yang baik dan benar. Pfiuuh..sangat menyulitkan! That's why, saat berbicara dengan 'beliau-beliau' itu aku selalu bertutur dengan sangat perlahan. Bukannya sok kalem, pi aku masih butuh waktu sepersekian detik untuk berpikir. Ya, berpikir untuk mentraslit bahasa 'aneh'ku pada bahasa yang baku. Kadang untuk kosa kata yang tak kutemukan padanannya ku gunakan bahasa indonesia. Huh..pasti terdengar semakin aneh saja! Andaikan dinilai sopan, tentu dengan senang hati aku akan menggunakan bahasa indonesia, tapi sayangnya itu tak wajar dikalangan kami. Padahal bahasa Indonesia adalah bahasa yang egaliter, tak ada kasta di dalamnya. Tapi berbahasa jawa dengan baik, tentu member kami poin plus dihadapan lawan bicara kami.
Walau kami asli keluarga jawa, pi sssttt...tahukah kalian..nilai bahasa jawaku dulu tak pernah di atas angka 7. Begitu pula teman-teman sekelasku. Minat mempelajari bahasa asing lebih besar dari pada bahasa ibu sendiri. Fakta yang memprihatinkan. Karna itu tak mengherankan kalau ada bahasa-bahasa yang tak bisa bertahan, karena pewarisnya tak mau melestarikannya.

Kamis, 12 November 2009

Wawancara Imajiner dengan Hadlratussyeikh

Wawancara Imajiner dengan Hadlratussyeikh
Oleh: A. Mustofa BisriKetika Gus Dur menulis Wawancara Imajiner tentang Dr. Nurcholish Madjid di majalah Editor, dia memulai dengan ungkapan guyon cerdasnya: “Kalau dulu Christianto Wibisono mewawancarai Bung Karno secara imajiner, tidak berarti hak melakukan wawancara jenis itu menjadi monopolinya. Seandainya ia bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner tentang Dr. Nurcholish Madjid. Sebabnya? Karena Christianto menjadikan tokoh yang diwawancarai itu sumber berita. Sedang saya hanya sekedar ingin “berkangen-kangenan” secara imajiner dengan tokoh saya. Ungkapan yang sama bisa saya kemukakan sekarang ini untuk mengawali tulisan latah saya ini. Ungkapan saya berkangen-kangenan mungkin kurang tepat, meskipun sekedar imajiner; karenanya saya beri tanda kutip. Soalnya yang kangen hanya saya dan saya tidak menangi tokoh yang saya kangeni itu. Dari apa yang saya dengar tentang Hadlratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas mengenai Bapak NU ini; sehingga saya merasa seolah-olah saya menangi beliau. Dan ketika saya, baru-baru ini, dihadiahi Kiai Muchit Muzadi copi kitab susunan Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Bairut) berjudul “Al’allaamah Muhammad Hasyim Asy’ari Waadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia” (Mahakiai Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia) dan dua kopi khotbah Hadlratussyeikh, kangen saya pun menjadi-jadi. Keinginan untuk melakukan wawancara imajiner dengan beliau pun tak bisa saya empet. Tiba-tiba saja saya sudah berada dalam majlis yang luar biasa itu. Suatu halaqah raksasa yang menebarkan wibawa bukan main mendebarkan. Kalau saja tidak karena senyum-senyum lembut yang memancar dari wajah-wajah jernih sekalian yang hadir, niscaya tak akan tahan saya duduk di majlis ini. Mereka yang duduk berhalaqah dengan anggun di sekeliling saya itu tampak bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Sehingga rasa ngeri dan gelisah saya berkurang karenanya. Begitu banyak wajah –ratusan atau bahkan ribuan- memancarkan cahaya, menyinari majlis. Ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto dan cerita-cerita, ada yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, dan masih banyak lagi yang namanya pun tak saya ketahui. Itu tentu Kiai Abdul Wahab Hasbullah! Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak terhingga. Duduk di sampingnya, Kiai Bishri Syansuri, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Nawawi Pasuruan, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Maksum Lasem, Kiai Nahrowi Malang, Kiai Ndoro Munthah Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Faqih Gresik, Kiai Abdul Halim Cirebon, Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Mas Alwi, dan Kiai Abdullah Ubaid dari Surabaya. Yang pakai torbus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan yang di sampingnya itu Syeikh Abdul ‘Alim Ash-Shiddiqi. O, itu Kiai Saleh Darat, Kiai Subeki Parakan, Kiai Abbas Buntet, Kiai Ma’ruf Kediri, Kiai Baidlowi Lasem, Kiai Dalhar Magelang, Kiai Amir Pekalongan, Kiai Mandur Temanggung. Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Kiai Machfudz Shiddiq, Kiai Dahlan dan Kiai Ilyas. Saya melihat juga Kiai Sulaiman Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al-Habsyi Bogor, Kiai Djunaidi dan Kiai Marzuki Jakarta, Kiai Raden Adnan dan Kiai Masyhud Sala, Kiai Mustain Tuban, Kiai Hambali dan Kiai Abdul Jalil Kudus, Kiai Yasin Banten, Kiai Manab kediri, Kiai Munawir Jogja, Kiai Dimyati Termas, Kiai Cholil Lasem, Kiai Cholil Rembang, Kiai Saleh Tayu, Kiai Machfud Sedan, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Maksum Seblak, Kiai Abubakar Palembang, Kiai Dimyati Pemalang, Kiai Fakihuddin Sekarputih, Kiai Abdul Latief Cibeber, Haji Hasan Gipo, Haji Raden Mochtar Banyumas, Kiai Said dan Kiai Anwar Surabaya, Kiai Muhammadun Kajen, Kiai Muhammadun Pondohan, Kiai Siradj Payaman, Kiai Chudlari Tegalrejo, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Badruddin Honggowongso Salatiga, Kiai Machrus Ali Lirboyo, Kiai, Kiai … Dan di tengah-tengah lautan Kiai dan tokoh NU itu Hadlratussyeikh bersila dengan agung, dengan wajah sareh yang senantiasa tersenyum. Namun, betapa pun jernih wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir. Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan –setelah berhasil mengatasi rasa rendah diri yang luar biasa- adalah: “Hadlratussyeikh, saya lihat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh yang ada di sini begitu murung. Bahkan di kedua mata Hadlratussyeikh yang teduh, saya melihat airmata yang menggenang. Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang membuat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh berprihatin? Apakah gerangan yang diprihatinkan?” Hampir serempak, Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh tersenyum. Senyum yang sulit saya ketahui maknanya. Tampak Kiai Abdul Wahab Hasbullah sudah akan menjawab pertanyaan saya, tapi buru-buru Hadlratussyeikh memberi isyarat dengan lembut. Ditatapnya saya dengan senyum yang masih tersungging, seolah-olah beliau hendak membantu mengikis kegelisahan saya akibat wibawa yang mengepung dari segala jurusan. Baru kemudian beliau berkata dengan suara lunak namun jelas: “Cucuku, kau benar. Kami semua di sini, Alhamdulillah hidup dalam keadaan damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tak kurang suatu apa. Kalaupun ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam’iyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam’iyah ini akan semakin kompak dan kokoh. Semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggali bekal yang cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas dan tuntunan yang gamblang.” “Jam’iyah ini dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dan para pengikutnya; tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, tapi juga bagi khidmah kepada bangsa, negara dan umat manusia.” “Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khitthah kami telah berhasil dirumuskan secara jelas dan rinci; sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah-langkah perjuangan semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga Jam’iyah yang kaget, bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain saling bertengkar dan saling cerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaaf), tapi sudah ada yang saling membenci (tabaaghudl), saling mendengki (tahaasud), saling ungkur-ungkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu’). Padahal mereka, satu dengan yang lain, bersaudara. Sebangsa. Setanahair. Seagama. Seahlissunnahwaljama’ah. Sejam’iyah.” “Laa haula walaa quwwata illa billah…” gumam semua yang hadir serempak, membuat tunduk saya semakin dalam. Dan saya merasakan berpasang-pasang mata menghunjam ke diri saya bagai pisau-pisau yang panas. Sementara Hadlratussyeikh melanjutkan masih dalam nada yang sareh, penuh kebapakan: “Yang pada bertikai itu; sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mempertahankan prinsip Islami apa? Sehingga begitu ringan mereka mengorbankan persaudaraan yang agung?” “Sejak awal saya kan sudah memperingatkan, baik dalam mukaddimah Al-Qaanun Al-Asasi maupun di banyak kesempatan yang lain, akan bahayanya perpecahan dan pentingnya menjaga persatuan. Dengan perpecahan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan baik. Sebaliknya dengan persatuan, tantangan yang bagaimana pun beratnya, insya Allah, akan dapat diatasi.” “Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tapi tabaaghuudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu’ –apapun alasannya- hanya membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita.” “Kalau di dalam organisasi, tabaaghudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu’ itu merupakan malapetaka; maka apa pula namanya jika itu terjadi dalam tubuh organisasi ulama dan para pengikutnya?” Hadlratussyeikh menarik napas panjang, diikuti secara serentak oleh ribuan gunung kiai. Suatu tarikan napas yang disusul gemuruh dzikir dalam nada keluhan: Laa haula walaa quwwata illa billah… Saya sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kepada Hadlratussyeikh bahwa warga jam’iyah baik-baik saja –kalaupun ada sedikit ketegangan itu wajar, kini sudah membaik- tak ada yang perlu diprihatinkan, ketika tiba-tiba beliau berkata: “Kau tidak perlu menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tahu semua. Mungkin keadaan yang sebenarnya tidak separah yang tampak oleh kami, namun yang tampak itu saja sudah cukup membuat kami prihatin. Kami ingin khidmah dan yang dilakukan jam’iyah ini sebanding dengan kebesarannya,” “Lalu apa nasehat Hadlratussyeikh?” Pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa saya sadari. “Nasehatku; lebih mendekatlah kepada Allah. Bacalah lagi lebih cermat Mukaddimah Al-Qaanuun Al Asasi dan Khitthah Jam’iyah. Fahami dan hayati maknanya, lalu amalkan! Dan waspadalah terhadap provokasi kepentingan sesaat ! Itu saja!” Mendengar nasehat singkat itu, tanpa saya sadari, saya melayangkan pandangan ke wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadlratussyeikh itu tidaklah sesederhana yang saya duga. “Dan belajarlah berbeda pendapat!” seru sebuah suara yang ternyata suara Kiai Abdul Wahid Hasyim. “Berbeda pendapat dengan saudara adalah wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakan adalah jika perbedaan pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara.” Sekali lagi semuanya mengangguk-angguk lembut. Saya tidak bisa dan tidak ingin lagi meneruskan wawancara. Saya hanya menunggu. Ingin lebih banyak lagi mendengar nasehat. Tapi yang saya dengar kemudian adalah ayat Al-Quran yang dibaca dengan khusyuk oleh –masya Allah!- Kiai Abdul Wahab Hasbullah: “Washbir nafsaka ma’alladziena yad’uuna Rabbahum bilghadaati wal ‘asyiyyi yurieduuna wajhaHu walaa ta’du ‘ainaaka ‘anhum turiedu zienatal-hayaatid-dunya walaa tuthi’ man aghfalNaa qalbahu ‘an dzikriNaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthaa.” (“Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridhaanNya dan jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharapkan gemerlap kehidupan dunia ini dan jangan ikuti orang yang hatinya telah Kami lailakan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadaannya melampaui batas.”) Dan dengan berakhirnya bacaan ayat 28 Al-Kahfi itu, saya tak mendengar apa-apa lagi kecuali dzikir dan dzikir yang gemuruhnya serasa hendak mengoyak langit.

Minggu, 01 November 2009

Allah Tidak Kejam

Beberapa pekan terakhir ini rasa-rasanya dalam tiap tayangan berita di semua stasiun TV atau terbitan media cetak selalu diramaikan dengan kabar bencana alam yang silih berganti terjadi di hampir seluruh penjuru dunia. Di negeri kita saja, yang masih lekat dalam ingatan adalah gempa 7,3 SR di Tasikmalaya, disusul goncangan 7,8 SR di Padang yang dibarengi longsor di beberapa titik, banjir yang ironisnya bersamaan dengan kekeringan di beberapa wilayah lainnya, kebakaran hutan dan banyak peristiwa lainnya yang pastinya cukup banyak menguras air mata kita.
Apakah ini semua pertanda Allah Sang pencipta alam sedang marah? Kebanyakan orang berpikir demikian. Mereka lupa kalau Allah itu maha pengasih. Kasih sayang dan rahmatNya mengalahkan amarahNya. Allah tidak seperti kita yang jika peraturan yang kita buat dilanggar akan marah.
Al Quran menggunakan tiga kata untuk menjelaskan peristiwa yang tidak menyenangkan:
Pertama, MUSIBAH, untuk sesuatu yang tidak menyenangkan akibat ulah manusia. Al Quran mengisyaratkan, "tidak disentuh seseorang oleh musibah kecuali karena ulahnya sendiri".
Kedua, BALA, berupa sesuatu yang datang langsung dari Tuhan tanpa keterlibatan manusia, kecuali menerimanya. Dengan menurunkan bala, Allah SWT menguji untuk menampakkan kualitas seseorang.
Ketiga, FITNAH, yang dalam bahasa Al Quran berarti ujian atau siksaan. Allah SWT berfirman, berhati-hatilah terhadap fitnah (bencana) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang bersalah. Ini berarti bencana itu datang dari perbuatan seseorang atau kelompok, tetapi dampaknya mengenai orang yang tidak bersalah.
Ketiga hal itu hendaknya tidak membuat manusia berburuk sangka, baik terhadap manusia maupun kepada Allah. Mereka yang hanya berpikir tentang ’sekarang ’ dan ’di sini ’ menganggap suatu bencana tidak fair sebab juga mengenai orang yang tidak berdosa. Manusia tidak boleh mempersalahkan Allah karena Dia tidak pernah salah. Jangan pula melemparkan kesalahan kepada orang-orang tertentu tanpa bukti yang jelas. Sebab, boleh jadi justru yang menuduh itu penyebabnya. Yang terpenting adalah introspeksi dan semangat untuk memperbaiki diri.
Allah tidak kejam. Musibah yang terjadi itu mempunyai beberapa arti yang hanya Dia saja yang tahu.
Pertama, musibah itu memang boleh jadi merupakan hukuman Allah atas pembangkangan yang dilakukan manusia yaitu sebagai peringatan bagi yang bersangkutan agar segera bertobat. Manusia yang masuk dalam golongan musibah tipe ini, bila tidak sempat bertobat, sangat merugi. Karena di dunia dia dihukum, di akhirat pun dia tidak luput menerima hukuman
Kedua, musibah itu merupakan 'pencucian dosa' atas kesalahan yang dahulu pernah dilakukan. Mereka yang masuk golongan kedua ini adalah orang-orang yang bertakwa, dia sebenarnya 'beruntung'. Karena, musibah itu baginya berfungsi sebagai penebus dosa-dosanya, sehingga dengan demikian kesalahannya itu tidak akan diperhitungkan lagi di akhirat nanti.
Ketiga, makna musibah ketiga ini, yaitu sebagai ujian kenaikan peringkat di sisi Allah. Hal ini jelas nampak pada diri Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah orang yang paling dicintai Allah, sekaligus orang yang paling berat menerima musibah musibah-Nya.
Kita harus yakin bahwa apa pun musibah yang menimpa diri kita pada hakekatnya adalah baik. Allah tidak marah. Justru Dia sebenarnya ingin menolong agar kita terhindar masuk ke neraka. Bagi orang-orang yang bersalah musibah adalah peringatan, sedangkan bagi orang yang tidak bersalah dan terkena musibah itu, Allah menjadikan dia alat untuk mengingatkan orang lain. Ketika Allah SWT menjadikan seseorang sebagai alat atau sarana, tidak mungkin orang itu disia-siakan. Bencana itu menjadi sarana pelebur dosa dan peningkat derajat baginya. Masalahnya sekarang berpulang kepada kita sendiri. Mampu atau tidak kita menterjemahkan "signal" Allah itu.
Banyak musibah bisa dihindari -atau setidaknya diringankan- apabila setiap orang melakukan introspeksi, kembali kepada Tuhan, mohon ampunan, dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Kalaupun kita jatuh dari lantai 10 sebuah gedung, mudah-mudahan kita jatuh di atas tumpukan jerami.

Minggu, 25 Oktober 2009

Jihad Terbesar

Beberapa hari terakhir, perasaan saya tak menentu, campur aduk! Tak bisa dibedakan antara rasa manis, pahit, sepah, asem, asin..yang kalau dipikir jadinya kayak rasa rujak gobet! Pasti ada yang tak beres. Saya terus mencari...apa yang salah sebenarnya? Terlalu banyak hal yang kalau diingat bisa bikin napas sesak. Rasanya ada sesuatu dalam diri saya yang ingin memberontak, menagih, mengeluh dan menyalahkan.
Belakangan baru saya sadari kalau 'sesuatu' itu adalah pikiran bawah sadar saya yang bekerja secara otomatis untuk melawan pikiran sadar saya. Dan tak hanya saya, bagi tiap orang musuh terbesar adalah dirinya sendiri. Bukankah Rasulullah seusai peperangan Badr sudah mengingatkan bahwa perang yang terbesar adalah jihad an nafs.? Hati adalah medan pertempuran dan jalan terbaik untuk mengakhiri pertempuran itu adalah berdamai; yap..berdamai dengan diri sendiri.
Berdamai dengan diri sendiri artinya bersyukur. Berusaha memahami setiap keadaan yang ada, mensyukuri kekurangan, tidak menyalahkan orang lain, dan dapat menerima sesuatu yang menimpa diri kita dengan lapang. Kehidupan ini dirangkai dengan peristiwa-peristiwa yang menggelitik emosi seperti frustrasi, depresi, rasa sakit hati, sedih, bahagia dan hal-hal yang tidak dapat diramalkan. Kalau kita mampu berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diri sendiri, maka hidup akan terasa lebih ringan.
Saya mendapat pencerahan dari sebuah situs:".. cari lebih dalam apa yang sebenarnya kamu rasakan.. di atas masalah yang kamu hadapi ada masalah di dalam hati kamu yang paling dasar yang belum terselesaikan! Dan kamu memang belum selasai .. Berdamai dengan dirimu lebih baik daripada kamu biarkan dirimu membangun dinding yang lebih kokoh untuk menutupi apa yang belum kamu selesaikan .. Semua sudah diperhitungkan .. dan kamu cukup punya hati yang besar saja untuk menerima hal terburuk sekalipun”
Kita memang tidak bisa mengatur setiap kejadian yang menimpa kita, tetapi kita bisa kondisikan bagaimana diri kita beradaptasi dengan apapun yang terjadi, kalau kita mau. Berdamai dengan diri sendiri artinya memiliki hati yang lapang, yang dipenuhi kesabaran dan kepasrahan pada Yang Kuasa. Pengendalian emosi, itulah intinya. Emosi yang terkendali menjauhkan diri dari tindakan agresif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Tak mudah memang, tapi..Huuuphff...sekarang napas saya terasa lebih lega...

Kamis, 15 Oktober 2009

Makna Khaul Bagi Santri

Minggu 18 Oktober yang akan datang, kami punya gawe besar: mengadakan pengajian umum dalam rangka khaul guru kami, KH. Muhammad Yahya. Walau acara puncaknya masih 3 hari lagi, namun kesibukan persiapannya sudah terasa sejak beberapa hari ini. Rangkaian acara peringatan khaul ini akan diawali dengan tahlil yang dilaksanakan malam nanti.

Masih ada hubungan dengan postingan saya terdahulu, bagi kami kyai adalah seorang yang diberi authoritas dan ditempatkan pada posisi tinggi dalam struktur atau susunan sosial masyarakat, bukan saja terbatas pada masa “sugengnya” saja, tetapi pengakuan itu juga diteruskan sampai pada masa sang kyai itu berada di alam barzah. Ini ditandai oleh apa yang kita kenal dan rasakan dengan upacara khaul.

Khaul artinya peringatan ulang tahun meninggalnya seseorang yang dalam praktiknya istilah khaul itu “hanya” dipersembahkan untuk tokoh-tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakatnya dan bukan untuk warga masyarakat umum. Arti penting dari upacara-upacara khaul itu ialah : pertama, meneguhkan perasaan hormatnya santri dan masyarakat sekitarnya akan peran dari figur kyai yang bersangkutan. Pada konteks ini, terutama bagi santri-santri, menghadiri khaul kyai mereka sama artinya dengan meneguhkan silsilah atau mata rantai keilmuan. Peneguhan itu semakin kentara dalam jamaah tarekat. Arti kedua dari acara khoul adalah pertemuan alumni. Pada acara temu alumni itu, bukan saja masing-masing alumnus bisa tukar pengalaman dalam kaitannya dengan perjuangannya menyebarkan ilmu di daerahnya masing-masing tetapi juga mempererat hubungan batin antaralumni dan antara alumni dengan badal atau wakil-wakil kyai, yang umumnya adalah putra-putra kyai sendiri atau kerabat dekatnya.

Dan arti penting ketiga dari khaul adalah keteladanan. Pada setiap acara khaul kyai, sebetulnya secara tersirat mengingatkan kembali kepada figur dan prestasi yang disandangnya. Kealiman dan ketakwaan sang kyai tersebut kemudian dijadikan acuan keteladanan bagi generasi-generasi berikutnya. Semoga peringatan khaul Kyai Yahya yang diadakan rutin tiap hari Minggu terakhir bulan syawal ini menjadi momentum bagi kita untuk meneladani dan merefresh ajaran-ajaran beliau, bukan sekedar upacara simbolik yang kering makna. Amiiin...

Rabu, 14 Oktober 2009

Kyai di Mata Santri

Hubungan antara santri dengan kyai atau gurunya dapat dianalogikan seperti batang pohon dan rantingnya. Ranting itu akan bisa terus hidup, tumbuh memanjang dan akhirnya berbuah selama tak terlepas dari batangnya. Sama dengan santri, yang akan mampu mengaplikasikan dan mengembangkan potensi keilmuannya (baca: mendapat ilmu manfaat) selama dia tetap menjalin hubungan yang baik dengan lembaga tempatnya belajar serta segenap elemennya, bahkan setelah wafatnya sang guru ataupun selepasnya belajar di sana.

Jalinan ini terwujud dalam tradisi 'sowan pada kyai' yang populer di dunia pesantren. Jika memang tidak memungkinkan bersilaturrahmi -karena berbagai alasan- maka doa dianggap cukup mewakili keinginannya untuk tak terpisah dari ' Sang batang pohon'. Namun sesungguhnya, subtansi dari semua itu adalah tekat santri untuk terus mengamalkan ajaran Sang Guru, berjalan pada koridor yang telah beliau tunjukkan, dan memegang teguh norma-norma kebenaran dan adab yang didapatnya dari sang kyai, yang sebelumnya beliau dapat dari gurunya dan demikian seterusnya hingga mata rantai ajaran ini bermuara pada rasulullah saw.

Santri dikenal memiliki loyalitas yang tinggi dan ikatan emosional yang kuat terhadap Sang Guru karena mengharap keberkahan dari ilmu dan ketakwaan beliau. Hubungan antara kyai dengan santri adalah hubungan sosial yang didasarkan dan diikat oleh moralitas keagamaan (religion morality’s tied), bukan oleh upah atas jasa mendidik, atau mengajar kepada santri dalam jumlah waktu yang tidak dibatasi. Seringkali kita dengar kisah santri-santri yang sebenarnya tak begitu bersinar prestasi akademiknya, namun karena keikhlasan dan ketaatan mereka pada kyai mereka mendapat keberkahan ilmu yang sangat didamba siapapun. Kalau 1 + 1 =2 dalam logika kita, maka dengan adanya barakah hasilnya bisa berpuluh bahkan beratus kali lipat.

Hal ini dapat dimengerti, mengingat pesantren adalah lembaga edukasi yang tujuan pembelajarannya bukan hanya berorientasi pada transformasi pengetahuan dan keterampilan, namun lebih pada pembentukan karakter. Dalam proses pembentukan karakter ini figur dan prestasi sang kyai lantas menjadi sosok ideal (the ideal type) yang kemudian dijadikan acuan keteladanan bagi santri-santrinya.

Kamis, 08 Oktober 2009

Menyebalkan!

Kalau kalian bertemu dengan orang yang menyebalkan, biarkan saja. Mereka memang tercipta seperti itu, tercipta untuk membuat kita sebal! Tapi jangan terlalu cepat menjatuhkan vonis menyebalkan pada seseorang yang sikapnya 'engga bgt' di depan kita, karena bisa jadi sikap buruknya itu adalah respon balik dari sikap kita yang tak terlalu menyenangkan baginya. Singkat cerita, lihat dulu yang menyebalkan itu dia atau kita. Harus dialui, memang sebagian dari kita tercipta untuk menjadi cobaan bagi yang lainnya..hehe. Tapi kadang kalau menyebalkannya udah kelewat batas, bingung juga, mau introspeksi atau ngomel duluan??!
Yang jelas, manusia itu tercipta dengan bentuk dan karakter yang berbeda. Bertemu dengan 10 kepala artinya bertemu dengan 10 macam kepribadian. Tak ada yang sama. Cara memperlakukannya pun berbeda. Saat seseorang mendapatkan perlakuan yang tak ia harapkan dari lawan bicaranya di situlah mulai muncul kata-kata: menyebalkan!
Payahnya, seringkali mereka yang kita anggap menyebalkan kita adalah orang-orang terdekat kita. Teori sederhana saya: makin dekat kita dengan seseorang makin leluasa kita melakukan apapun yang kita mau pada mereka. Pada orang terdekat, perasaan ingin dimengerti lebih kuat daripada mencoba mengerti. Dan mereka tak kuatir kita berpaling atas apa yang mereka lakukan. Contoh sederhana saja, kita lebih banyak mengomel pada tetangga atau adik kita?
Menyebalkan memang, jika harus bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan. Tapi disadari atau tidak, mereka yang menurut kita menyebalkan itu telah memberi warna yang berbeda dalam hidup kita. Nikmati saja, anggap bergaul dengan mereka sebagai suatu eksperimen. Bisa kta amati bagaimana respon mereka menerima macam-macam perlakuan dari kita, sampai akhirnya kita menemukan cara yang tepat untuk 'menaklukkan' mereka.Perasaan senang, sebal, sedih, sakit, sesal, haru, bangga, it's all 'bout keseimbangan. Jika diramu dengan formulasi yang sesuai akan menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk perjalanan selanjutnya.

Kamis, 01 Oktober 2009

Aku Berpikir Maka Aku...

Saya sejujurnya begitu terpesona dengan ucapan Descartes: “Aku berpikir maka aku ada”. Begawan matematika ini mengajak kita membuktikan eksistensi kita melalui pikiran yang kemudian diterjemahkan dalam wujud nyata, bukannya sibuk mencitrakan diri kita melalui seperangkat atribut materi yang melingkari tubuh kita. Namun, untuk saat ini saya lebih senang dengan ucapan saya sendiri: “Aku berpikir maka aku pusing!”.
Jangan berprasangka buruk dulu. Saya tidak pernah bermaksud menyia-nyiakan otak. Bukan pula saya lebih senang berbodoh-bodoh ria dengan tidak berpikir. Wah, bisa-bisa Pak Descartes bela-belain loncat dari kuburnya demi menjitak kepala saya...hiii.
Maksud saya adalah kita memang dianugrahi akal untuk berpikir, namun adakalanya rasionalitas terbentur oleh sebuah realita yang tak terjangkau akal kita. Ada saatnya berpikir, menganalisa, menentukan target dan menyusun strategi, namun ada garis batas yang tak bisa kita langgar. Garis itu adalah pemisah dari usaha dan hasil. Berusaha dengan segenap jiwa raga adalah tugas kita, sedangkan penentuan hasil adalah bagian dari takdir Allah. Kita tak bisa ikut campur terhadap hal-hal yang masuk ke ranah takdir. Di titik inilah berlaku idiom ‘aku berpikir maka aku pusing’.

Semut merah yang berbaris di dinding tentu akan menertawakan kita habis-habisan jika kita menghabiskan umur hanya untuk memikirkan hal yang bukan kewenangan kita. Apa gunanya kita memikirkan apa yang akan dilakukan Allah, sementara tugas yang seharusnya kita lakukan menjadi terbengkalai. Toh apa yang akan terjadi memang itulah yang seharusnya terjadi, dan akan tetap terjadi tak peduli kita mau atau tidak. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan dan meminta yang terbaik kemudian mengembalikan segalanya pada Dia.

Daripada kita jadi pusiiiing!

Rabu, 30 September 2009

Akuuuu Dataaang!!!

Pfuiiih...Alhamdulillah. Akhirnya bisa juga aku kembali beraksi di blogsphare. Postingan terakhirku tertanggal 21 Juni. Hmmm,, itu artinya 3 bulan 10 hari sudah aku 'menghilang'. Masa vacum yang cukup lama, setidaknya cukup membuatku merasa gagap, seperti ketika pertama kali kujentikkan jemariku menulis di ranah blog. Banyak yang terjadi padaku dalam kurun 3 bulan itu, yang pastinya sangat ingin ku bagi bersama kalian. Namun, apa daya tangan tak sampai! Hehehe...
Ada kejadian2 yang menyenangkan, mengharukan, meyebalkan dan mengejutkan yang demi mengingatnya kadang aku tersenyum simpul, menyembunyikan wajah di balik selimut atau mengepalkan tangan. Ingin ku ceritakan semuanya di sini, agar suatu saat bisa kukenang kembali, tak menguap begitu saja.
Kondisi ayahku sudah semakin membaik, walo masih butuh waktu untuk kembali seperti sediakala. Ramadhan tahun ini terasa sangat spesial dengan hadirnya kawan2 baru. Kalian tau, aku habiskan 21 hari singgah di Kediri, akan ku ceritakan di postingan selanjutnya, insyaallah.
Banyak pula ide-ideku yang selama ini tertampung di kepalaku. Agar memorinya tak sampai tumpang tindih, insy akan aku pindahkan juga ke blog ini.
Okeh, kita awali kembali perjalanan ini.
Bismillah...

Minggu, 21 Juni 2009

Ayah

Ayahku sejak Selasa pekan lalu dirawat di RS gara-gara hipertensinya. Minggu udah baikan dan dibolehin pulang, tapi rabu malam kondisinya drop lagi. Rabu pagi sebenernya ayah udah keliatan lebih fresh dari hari-hari sebelumnya, udah bisa turun dari ranjang bahkan duduk-duduk di ruang keluarga seperti biasanya sambil melihat ulah keponakanku yang selalu tak biasa. Sarapan berlangsung sukses, tapi pas waktu minum obat yang ukurannya segede gambreng, eh tiba-tiba tak bisa tertelan..setelah itu kondisinya terus menurun. Pas dibangunin buat makan siang, kondisinya lemez banget dan sulit berkomunikasi. Karena dalam riwayat medisnya sudah tertera 4 kali serangan stroke, jadi gejala gangguan kesehatan sekecil apapun harus diwaspadai…Waktu konsultasi ke dokter yang ngrawat ayah, dia bilang lebih baik kembali ke RS. Benar saja, waktu dicek , tekanan darahnya sih normal, tapi tak disangka gula darahnya Cuma 12 dari batas normal diatas 100. Agak aneh, karna selama ini ayah ga pernah punya masalah sama gula darah. Setelah beberapa hari dirawat tensi dan gula darahnya berangsur normal, walo belom stabil. Udah bisa diajak komunikasi, responnya udah baik tapi bicaranya masih belom jelas. Menurut penjelasan dokter sarafnya, itu karna ada stroke yang menyerang batang otak yang berhubungan dengan fungsi linguistiknya. Untuk memenuhi asupan kalorinya, dipasang selang di hidung untuk memasukkan susu langsung ke lambungnya, karna ayah sulit menelan bermacam makanan dan minuman sehubungan dengan gangguan di batang otaknya tadi.
Kesian ayahku… dia mw bilang keinginannya tapi kita tak paham apa maksudnya. Ayah tergolek lemah di ranjang, walo sama sekali tak krasan di RS. Memegang tangan lemahnya dan menatap wajahnya yang sedang tidur mataku benar-benar panas. Aku ingat bagaimana ayahku yang penyayang selalu menuruti keinginanku dan sodara-sodaraku, bagaimana dia selalu bertanya berapa nilai ujianku, dan membubuhkan tanda tangannya di raporku dengan senyum terkembang. Ku masih ingat, suatu ketika ayah mengajak kami pergi tanpa memberitahu tujuannya…dengan muka ditekuk, kami pun terpaksa mengikuti ajakannya itu. Kami begitu surpraise setelah beberapa jam perjalanan melintasi gunung kapur yang membosankan kami sampai dihutan yang teduh. Jalan semakin berkelok dan di ujung hutan sana terlihat hamparan pasir putih dengan ombak yang tenang. Itulah pantai sendang biru di Selatan Malang. Ah...terima kasih Ayah!
Tak hanya kali itu, ayah kerap memberi kejutan dengan mewujudkan keinginan kami yang kami sendiri tak sadar mengungkapkannya. Kalo kami inginkan sesuatu, ayah pasti mengingatnya dan jika saatnya sudah memungkinkan dia memberikan apa yang kami inginkan itu. Ayah orang yang disiplin, orang yang selalu on time dan penuh perhatian, walo kadang dia tunjukkan dengan caranya sendiri. Dia pun ramah dan supel dengan semua orang. Menyambung silaturrahmi adalah kegemarannya. Di saat musim kampanye pilpres seperti sekarang ini, bagi kami dialah yang paling pantas menjadi top leader di keluarga kami.
Semoga Allah selalu mengasihi Ayahku sebagaimana dia menyayangi aku. Amin...

Ijtihad Politik

Euforia pilpres benar-benar menyemarakkan berbagai media kita belakangan ini. Baik media cetak ataupun elektronik seakan berlomba menyajikan informasi terkini dan terlengkap seputar pilpres. Mulai mengadakan acara debat resmi, talk show ringan bersama sang capres-cawapres, menampilkan profil kandidat plus visi misinya, dan apapun itu yang bisa menjadi referensi bagi kita untuk menentukan pilihan 8 Juli mendatang. Tak semuanya netral, ada juga beberapa acara yang dibuat untuk menyerang atau mengunggulkan salah satu pasangan kandidat. Kita sebagai konsumen yang harus pandai-pandai menilai.
Pintu informasi sudah terbuka lebar, tapi beberapa kali saya iseng bertanya pada beberapa kawan dan keluarga apakah sudah menentukan pilihan, mayoritas menjawab belum! Mungkin inilah cermin dari rendah kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan politik. Mereka masih menganggap dunia politik itu dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia mereka. Mereka tak sadar, menghendaki pemimpin yang berkualitas harus dimulai dari menjadi pemilih yang berkualitas pula. Saya pun awalnya punya pemahaman yang sama seperti mereka, tapi setelah banyak informasi yang saya terima, saya pun menyadari pentingnya pemahaman yang utuh tentang politik, meskipun maaf saja, saya tidak sedikitpun berminat terjun ke politik praktis yang saya rasa sangat tak sesuai untuk saya yang (sok) idealis ini.
Para kandidat pun harus memberi informasi yang benar pada masyarakat, terutama dalam mengiklankan dirinya. Iklan harus faktual dan ‘menjual’, dan karena faktor yang kedua itulah fakta yang disampaikan tak utuh, tapi dipilah dan dipilih yang menguntungkan saja. Semua pasti mengunggulkan diri sendiri dan menjatuhkan lawannya, tapi dari etika dan cara yang dipakai selama kampanye, kita bisa menilai seperti apa para kandidat itu sebenarnya. Ada yang agresif karena selalu menyertakan kecaman pada kandidat lain dalam materi kampanyenya, ada yang defensif karena sebagai incumbent dia sudah merasa di atas angin yang menimbulkan kesan arogan dan membosankan, tapi ada juga yang sportif yang mengaku yakin menjadi yang terbaik tapi jika ternyata kandidat lain yang memenangkan laga ini, dia akan mendukung sepenuhnya sang ‘pemenang’ siapapun itu.
Karena takut salah memilih banyak juga diantara kita yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal, golput itu haram hukumnya jika kita merujuk pada fatwa MUI. Menurut hemat saya, asalkan kita sudah berusaha mencari informasi tentang siapa yang paling layak dipilih kalaupun ternyata pendapat kita salah, itu bukanlah suatu dosa. Bukankah seorang mujtahid yang berusaha mencari hukum jika pendapatnya benar mendapat 2 pahala dan jika salah tetap mendapat 1 pahala?
Nah, masih ada waktu untuk mengenal lebih dekat sosok ketiga pasangan kandidat capres-cawapres kita ini. Jangan sampai kita memilih orang yang tidak layak memimpin kita..

Kamis, 14 Mei 2009

Learn to Love

Banyak hal-hal yang salah tapi karena terlanjur menjadi kebiasaan (jawa:kaprah) maka tak lagi dianggap keliru, itulah yang dinamakan salah kaprah. Salah satu kasus salah kaprah yang ingin saya angkat kali ini adalah tentang 'jatuh cinta'. Ketika mendengar kata ini yang terpikir di benak kita adalah bayangan tentang indahnya rasa yang (konon) bisa membuat orang serasa melayang-layang. Yang membuat saya heran, kita -sadar atau tidak- malah menyebut proses yang menyenangkan itu sebagai suatu kecelakaan dengan mengistilahkannya sebagai 'jatuh cinta', padahal jatuh itu bukanlah hal yang diinginkan siapapun. Cinta juga bukanlah suatu kebetulan, namun suatu peroses pembelajaran. Saya lebih senang menyebutnya dengan learn to love bukan fallin love. Mencintai tak hanya sebatas perasaan antara lelaki-perempuan, tapi lebih luas mencakup seluruh perasaan sayang kepada keluarga, kawan, bahkan seluruh makhluk.
Cinta adalah proses pembelajaran, belajar untuk mengenal diri sendiri dan orang yang dicintai. Belajar untuk menerimanya dengan segala tentang dirinya. Belajar kompromi atas segala perbedaan. Belajar untuk meleburkan kata 'aku' dalam 'kita'. Suatu proses menarik yang berlangsung seumur hidup. Lebih jauh, mencintai sesama itu suatu tahapan awal untuk mencintai Allah. Tak ubahnya murid TK yang diawal pembelajarannya hanya mampu merespon hal yang konkret, kita pun akan sulit mencintai dan mengenal Allah, dzat yang ghaib jika kita belum mampu mencintai yang konkret yang dekat dengan kita, dimulai dari keluarga, pasangan, kawan dsb. Setelah berlatih mengalahkan ego kita dengan memprioritaskan kepentingan orang yang kita cintai, di situlah kita harus secara bertahap mengembangkan kepribadian kita dengan mencintai Allah, sumber segala cinta. Mencintai Allah dimulai secara hierarkis dengan mencintai RasulNya, mencintai segala perbuatan yang bisa mendekatkan kita padaNya, mencintai semua makhluk ciptaannya melebihi cinta kita pada diri kita sendiri.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menyatakan adalah sebuah kebohongan besar bila seseorang mencintai sesuatu tetapi ia tidak memiliki kecintaan kepada sesuatu yang lain yang berkaitan dengannya. Al-Ghazali menulis; "Bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah swt. tetapi ia tidak mencintai Rasul-Nya; bohonglah orang yang mengaku mencintai Rasul-Nya tetapi ia tidak mencintai kaum fuqara dan masakin; dan bohonglah orang yang mengaku mencintai surga tetapi ia tidak mau menaati Allah swt." Semua itu pada hakikatnya mengajarkan kita untuk mencintai hal-hal yang bersifat abstrak. Nilai tasawuf yang paling penting adalah kecintaan kepada Allah swt.

Jumat, 08 Mei 2009

Balik ke Jaman Behaula

Senang jumpa lagi. As u know, ne postingan pertamaku di bulan Mei, walau sudah masuk hari ke-8. Setelah hampir 2 minggu vacum dari dunia perblogingan hamdallah...bisa bikin entri juga akhirnya. Garing banget lama OL. Internet memang bukan lagi sekedar life style, tapi udah jadi kebutuhan. Jadi bagiku barang kebutuhan pokok itu ga cuma ada 9, tapi ditambah pulsa HP dan internet jadi sebbako (sebelas bahan pokok). :D
Dua pekan terakhir memang ada beberapa perubahan. Koneksi speedy di rumah udah aku berhentiin, abis bikin kantong jebol sih. Mw pake speedy yang pre paid, eh... jarak pemasangannya min. sebulan dari pemberhentian. Kata tellernya sih kesian petugas instalasinya. Makanya, ne tadi mumpung pas kluar aku sempetin mampir bentar ke warnet di sebelah Dieng plaza. Koneksinya cepet sih, tempat duduknya nyaman dan suasananya asik, deket dari rumah pula, cuma keyboardnya yang jadul banget! Kalo mencet kudu sampe bunyi tak tek tak tek gitu. Serasa make mesin ketik peninggalan kompeni.! Kayaknya abis ne aku musti mampir ke salon deh, ngerebonding jariku yang hampir kriting. Hhhe...
Selain itu jadwal talaqi ku juga ditambah. Aku putuskan untuk nginep sekalian ajah di asrama 3 hari dalam seminggu daripada musti bolak-balik ke Singosari dan biar lebih efektif-efisien. Jadilah dalam 3 hari itu koneksiku dengan dunia luar terputus sejenak. Tak ada internet, tak ada HP. Huaah... serasa balik ke jaman behaula. Yah mw gimana lagi, hidup adalah perjuangan yang butuh pengorbanan..
Walo ga bikin entri, tapi tiap hari aku ga pernah lupa cek live traffic feed ku via Hp loh. Sukur deh, banyak yang nyasar ke 'Aku Ada' ini...walopun mungkin mereka bakal kecewa karna yang mereka temukan tak sesuai harapan. Btw, makasih bwt temen-temen yang udah mampir. Jangan kapok maen ke sini yah. Harap maklum ajah ki sanak, namanya juga blog anak bawang.

Jumat, 24 April 2009

Aku Ingin


“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu…

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada…”
— Sapardi Djoko Damono

Rabu, 22 April 2009

Mati Gaya Nih...

Pengen bikin postingan tapi bingung mau nulis apaan. Bukannya ga ada ide, tapi karna kebanyakan ide (halah?!) malah kaya gini nih jadinya...
Nulis itu susah, tapi ada yang lebih sulit: mulai nulis, dan bencana itu sekarang sedang menimpaku. Kalo sampeyan-sampeyan juga pernah ngalami yang kayak gini...bagi tips dunk!

Sabtu, 18 April 2009

Pasrah Dalam Ketidakpastian

Jumat siang kemarin aku sempatkan waktu mampir ke perpustakaan umum kota di jl. Ijen. Inilah tempat favoritku, tempat aku lari dari kenyataan. Setidaknya di sini aku bisa sejenak melepaskan beban pikiran dan menjelajahi berbagai sudut dunia, berkenalan dengan orang-orang hebat dan menelusuri peradaban klasik dengan imajinasiku. Entah mengapa, tak seperti biasanya hampir 30 menit berlalu dan aku belum bisa memfokuskan pikiran pada deretan huruf yang ada di depanku. Semua yang terbaca hanya sekedar berkelebat di mataku tanpa aku mampu menangkap maksud di dalamnya.
Ku tinggalkan tumpukan buku di meja, beranjak ke sudut perpus tempat 8 unit PC yang tersambung dengan koneksi internet, layanan khusus untuk pemegang kartu anggota perpustakaan. Kuputuskan untuk berkelana di dunia virtual saja, sayangnya semua unit sedang terpakai. Kembali ku telusuri rak-rak buku yang berderet dengan malas, sampai aku terhenti di rak buku dengan tag biografi dan memoar. Kutemukan 1 judul yang menarik di sana: 168 Jam Dalam Sandera. Memoar ini ditulis Meutya Hafidz -my fave anchour yang sekarang menyeberang ke dunia politik- berdasarkan pengalaman pribadinya menjadi sandera mujahidin Irak ketika melaksanakan tugas jurnalistiknya Februari 2005 silam.

Buku ini memang bukan new release, cetakan pertamanya September 2007, tapi buku ini tetap menarik untuk dibaca (buku kan tak ada tanggal expirednya). Ditulis dengan gaya novel flashback, memoar ini sungguh menarik. Sisipan pergulatan batin penulis membuat pembaca serasa ikut mengalami sepekan drama penyanderaan itu. Mengharukan dan menyentuh. Dia menceritakan bagaimana awal keterkejutannya dijemput paksa oleh 3 lelaki bersenjata di POM Bensin di Ramadi dalam perjalanannya ke Bagdad. Ketegangan terus berlanjut sampai ketika dia, rekannya Budiyanto dan Ibrahim, sopir berkebangsaan Yordania yang di sewanya ditinggalkan di sebuah gua sempit di padang pasir yang masuk wilayah konflik pejuang Irak dengan pasukan koalisi dengan 3 penjaga.
Dia menceritakan bagaimana tersiksanya dia sebagai jurnalis yang terbiasa dinamis harus diam dalam ketidakpastian dan ancaman maut yang terus mengintai. Namun di luar dugaan, persahabatan yang tulus terjalin di gua kecil itu, antara yang tersandera dengan para penyandera. Perlakuan baik ditunjukkan para penyandera itu bak mereka menghormati tamu jauh, namun bagaimanapun penyanderaan itu –berapapun lamanya– merupakan tindakan perampasan hak-hak manusia. Dikisahkan pula berbagai usaha diplomasi yang dilakukan pemerintah RI dan kru Metro TV untuk membebaskan dua wartawan ini. Di akhir buku, Marty Natalegawa, jubir deplu RI menuturkan dengan runtut upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi anak bangsany di negeri orang ini.
Yang menarik, menurutku, ditulis di salah satu bagian bahwa di tengah keputusasaan saat usaha tak lagi ada jalan dan semua materi yang dimiliki tak membantu satu-satunya yang kita miliki adalah ALLAH, pelindung kita yang MAHA KUASA. Tak ada yang tak mungkin bagiNYA. Dengan pasrah dan meminta pertolongan kepadaNYA semua kesulitan yang terjadi akan terasa ringan kita menjalaninya. Iman yang teguh akan menuntun kita keluar dari kemelut. Tak hanya dalam penyanderaan, dalam semua kasus ketidakpastian dalam hidup ini, satu yang pasti: DIA selalu bersama hambaNYA yang mau berserah diri.

Rabu, 15 April 2009

Kitab Suci Edisi Revisi


Percaya pada kitab suci yang diturunkan Allah merupakan salah satu pilar iman. Tak hanya pada Al Quran, namun juga kitab-kitab pendahulunya. Masalahnya, Taurat, Injil dan Zabur yang ada sekarang (yang biasa disebut kitab perjanjian lama, perjanjian baru dan Mazmur) diyakini telah banyak berubah. Kitab-kitab itu tak lagi menyeru pada tauhid (mengesakan Allah) yang merupakan inti ajaran agama samawi dan tak menjelaskan ihwal hari kiamat. Namun demikian tetap kita wajib mengimani kitab-kitab tersebut, caranya cukup dengan yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah memang telah menurunkan kitab Taurat pada Nabi Musa, Injil pada Nabi Isa, dan Zabur pada Nabi Dawud. Tentang isi kandungannya, karena kita tahu sudah banyak intervensi manusia di dalamnya maka tak perlu lagi kita mempelajarinya karena Al Quran sebagai kitab pamungkas telah memuat pokok-pokok ajaran kitab terdahulu yang masih relevan dan menyempurnakannya. Mempelajari Al Quran sama artinya dengan mempelajari kitab-kitab pendahulunya.
Al Quran sangat menghargai kitab-kitab terdahulu. Hal ini bisa kita lihat dalam Al Baqarah:4 yang menuntut umat Islam untuk mengakui eksistensi kitab terdahulu. Selain itu Al quran juga berfungsi sebagai verifikator, batu ujian bagi kitab terdahulu (Al Maidah:48), sebagai referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara umat-umat rasul yang berbeda (An Nahl:63-64) dan meluruskan sejarah yang telah banyak diselewengkan.
Tak berlebihan rasanya jika kita menyimpulkan bahwa al Quran adalah edisi revisi dari kitab-kitab terdahulu yang telah banyak dirusak dengan campur tangan manusia. Mereka merubah isinya demi memenuhi hasrat nafsu duniawi semata. Mereka menukar akhirat dengan harga yang sangat tidak pantas. Al Quran datang untuk kembali memurnikan ajaran tauhid dan meluruskan berbagai kekeliruan yang terjadi. Kalau ada edisi revisi, mengapa harus memilih versi lama?

Rabu, 08 April 2009

Maaf, Bukan Menghakimi, Hanya Koreksi

Besok pemilu yah? Beneran besok? Heran, barusan dalam kabar pemilu yang di up date tiap jam oleh beberapa stasiun TV beritanya masih sama dengan seminggu lalu: tentang logistik pemilu yang belum tersalurkan maksimal dan DPT yang amburadul di berbagai daerah. Yakin besok pemilu? Aku makin gamang waktu ibuku bilang: "Kok undangan buat nyontreng belom dateng yah?" Jangan-jangan ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan..Owh, jangan Kau biarkan itu terjadi ya Allah..Image negara kami sebagai negara demokrasi terbesar sedang dipertaruhkan!

Buat menggelar pesta sebesar ini, memang dibutuhkan dana yang tak main-main. Fantastis. Konon, APBN kita terkuras 21, 8 T untuk biaya pemilu tahun ini, 9 kali lebih besar ketimbang anggaran yang (cuma) 2,3 T pada pemilu 2004 lalu. Waw! Sangat disayangkan bila biaya sebesar itu sia-sia, tidak menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas yang pada gilirannya berpengaruh juga pada pilpres Juni mendatang.

Dana yang besar mustinya diimbangi dengan kinerja EO (baca:KPU) yang profesional! Tapi nyatanya, bukan hanya persiapan pra pemilu yang mengkhawatirkan, pelaksanaan dan proses penghitungan pun rawan kecurangan. Meskipun pejabat KPU (secara verbal) meyakinkan kalau validasi sudah sesuai ketentuan, kenyataan berkata lain. Manipulasi suara rakyat yang -tak dapat dipungkiri- terjadi di beberapa pilkada juga makin membuat rakyat was-was, akankah KPU sukses mengawal pemilu tahun ini? Maaf, bukan menghakimi, hanya koreksi.
Semoga dosa-dosa kita yang bagai pasir tak terhitung tak membuat Allah yang Maha Pengasih murka dan menghukum kita dengan memberi pemimpin yang tak layak memimpin dan semoga Dia masih memberi kesempatan kita untuk berbenah menjadi lebih baik dengan memilihkan pemimpin-pemimpin yang terbaik. Amiin.
NB: Ssstt..sampai sekarang aku belom tw, kedaftar apa ga di DPT. Emang serius pemilunya besok?

Selasa, 07 April 2009

Pesan Direktur

Berikut adalah sebuah cerita tentang bagaimana sebuah pesan dikomunikasikan secara hirarkis dalam sebuah perusahaan, dari Direktur hingga ke karyawan bawahan.

Dari: Direktur - Kepada: General Manajer
“Besok akan ada gerhana matahari total pada jam sembilan pagi.Ini adalah kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari. Untukmenyambut dan melihat peristiwa langka ini, seluruh karyawan dimintauntuk berkumpul di lapangan dengan berpakaian rapi. Saya akanmenjelaskan fenomena alam ini kepada mereka. Bila hari hujan, dankita tidak bisa melihatnya dengan jelas, kita berkumpul di kantinsaja.”

Dari: General Manager - Kepada: Manager
“Sesuai dengan perintah Direktur, besok pada jam sembilan pagi akanada gerhana matahari total. Bila hari hujan, kita tidak bisa berkumpuldi lapangan untuk melihatnya dengan berpakaian rapi. Dengan demikian,peristiwa hilangnya matahari ini akan dijelaskan oleh Direktur dikantin. Ini adalah kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari.”

Dari : Manager - Kepada : Supervisor
“Sesuai dengan perintah Direktur, besok kita akan mengikuti peristiwahilangnya matahari di kantin pada jam sembilan pagi dengan berpakaianrapi. Direktur akan menjelaskan apakah besok akan hujan atau tidak.Ini adalah kejadian yang tak bisa kita lihat setiap hari.”

Dari : Supervisor - Kepada : Koordinator
“Jika besok turun hujan di kantin, kejadian yang tak bisa kita lihatsetiap hari, Direktur, dengan berpakaian rapi, akan menghilang jamsembilan pagi.”

Dari : Koordinator - Kepada : Semua Staff
“Besok pagi, pada jam sembilan, Direktur akan menghilang. Sayangsekali, kita tidak bisa melihatnya setiap hari.

humor diatas menggambarkan bagaimana seorang perawi hadist mempunyai syarat-syarat yang sangat berat, tidak boleh berbohong, melakukan dosa kecil skalipun, hafal beribu-ribu hadits, dll. karena takut pesan dari seorang Rasul untuk umatnya akan mengalami distorsi seperti humor diatas. jadi jangan meremehkan riwayat & sanad dari sebuah hadits karena itu merupakan teknologi kita dan masih diakui kehebatannya.???
(sumber: http://indri-n-friends.super-forum.net/humor-f19/text-pesan-direktur-t837.htm)

Sekilas Tentang PP. Salafiyah Bangil

Sejarah singkat
Pada tahun 1366 H/ 1953 M KH. Abd. Rokhim Rohani mulai merintis Pesantren dengan dengan sarana yang sangat sederhana: Sebuah rumah dan surau yang memiliki 3 ruang kecil. Jauh dari kesempurnaan, namun sarat dengan keoptimisan. Generasi pertama Salafiyah berjumlah 17 orang, 9 diantaranya bermukim di pesantren. Sedangkan 8 lainnya tidak bermukim (santri kalong). Materi yang beliau berikan lebih dititikberatkan pada penguasaan gramatikal bahasa arab sebagai instrumen penting dalam memahami kandungan kitab-kitab klasik. Jadwal pembelajaran pun belum tertata secara sistematis, tergantung waktu senggang Kyai. Metode yang digunakan juga bersifat tradisional, yaitu sistem sorogan (lebih fokus pada pengembangan kemampuan perseorangan santri di bawah bimbingan kyai) dan wetonan (santri mendengar dan menyimak kitab yang dibacakan kyai). Belum rampung tugas yang beliau emban, pada 9 Muharram 1397 H/ 1977 M beliau hartus menutup lembaran sejarah perjuangan, menghadap keharibaan Rabb al izzah, meninggalkan 300 santri yang masih membutuhkan bimbingan beliau.
Penerus pada periode kedua adalah KH. Khoiron Khusein. Beliau dikenal produktif dan inovatif dalam pengembangan pendidikan pesantren. Wujud konkritnya ialah dengan mendirikan Madrasah Diniyah (pada tahun 1961 M) yang kemudian pada tahun 1978 M ditambah dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) yang pola pendidikannya selain melestarikan unsur-unsur utama pesantren juga memasukkan materi-materi umum dalam muatan kurikulumnya. Di bawah kepemimpinan KH. Khoiron inilah PP. Salafiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu gagasan beliau yang paling menonjol adalah ditugaskannya santri yang telah menyelesaikan jenjang MA untuk mengembangkan ilmu dan mengabdikan dirinya pada masyarakat yang bertempat di beberapa pesantren di Jawa Timur dan Madura. Pada tanggal 8 Jumadi al awal/ 19 desember 1987 PP. Salafiyah harus kembali merelakan kepergian salah satu tokoh kharismatiknya memenuhi panggilan ilahi pada usia 50 tahun.
Regenerasi kepemimpinan kembali terjadi dalam struktur kepengurusan Salafiyah. KH. Harisun Baihaqi AR. menjadi elemen paling esensial dalam pengelolaan Salafiyah periode ke-3. Dengan dibantui KH. Zubair Rasul terus mengembangkan potensi santri disamping mengupayakan pembenahan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran, diantaranya menambah lokal asrama, kelas dan kamar mandi. Beliau juga membentuk dewan penasehat yang terdiri dari ibu nyai Hj. Khilyah, Ibu nyai Hj. Istiqomah dan ustdz. Hj. Suroyyah.
Sistem Pendidikan
Kurikulum yang berlaku di Madrasah Salafiyah (MID-MTs-MA) adalah kurikulum lokal yang tidak mengikuti kurikulum depag. Namun disediakan pula jenjang program Mts-MA yang berbasis kurikulum diknas bagi santri yang berniat mengikuti ujian nasional. Kegiatan belajar mengajar formal diadakan 6 hari per minggu. MID pada pagi hari mulai pukul 7.30- 11.00 dengan 4 jam pelajaran @ 45 menit. Sedangkan MTs-MA mulai pukul 13.30-16.50 dengan 5 jam pelajaran @ 40 menit. Untuk penilaian hasil belajar, MID melakukan evaluasi dengan sistem cawu, sedangkan MTs-MA menggunakan sistem semester. Untuk pencapaian yang maksimal tiap-tiap kelas yang rata-rata terdiri dari 40-60 siswi membentuk halaqah-halaqah belajar yang terdiri dari 6-8 siswi dengan jam wajib belajar min. 1 jam ba'da isya'.
Materi yang diajarkan di MID lebih menekankan pada pengenalan dan pengkajian berbagai kitab klasik yang membahas fiqh (Mabadi' Fiqhiyah, taqrib, fath al muin), nahwu (awamil, al ajrumiyah, kawakib ad durriyah mutammimah al ajrumiyah), sharaf (amtsilah tasrifiyah, al maufuud, al kailani), tarikh (khulashoh nur al yaqin), tafsir (al jalalain, ash showi), tauhid (Aqidah islamiyah, jawahir kalamiyah, kifayah al awam, ad dasuqi), hadist ( arbain an nawawi, riyadh as sholihin) dan lain sebaginya. Sedangkan MTs-MA merupakan lanjutan dan pemantapan atas materi yang telah dijarkan di MID. Pada jenjang ini mulai dikenalkan pula ilmu tafsir, mustholah hadist, ushul fiqh, balaghah, mantiq, faraid, dan siyasah. Selain itu, untuk pembekalan siswi juga ditambahkan beberapa materi pendukung seperti sosiologi, bahasa inggris, bahasa Indonesia, perbandingan agama, psikologi, PPKN dan ilmu pendidikan.
Kegiatan ekstrakurikuler
Selain kegiatan formal madrasah, jadwal harian para santri juga dipenuhi dengan beragam kegiatan, seperti pengajian rutin yang diasuh para guru, kursus nahwu, bhs. arab, bhs. Inggris dan jurnalistik (bagi yang berminat), tilawah, bahtsu masail (untuk siswi 2 MA) dan forum kader dakwah (pengenalan medan dakwah untuk siswi 3 MA). Ada juga jam'iyah rutin yang dilaksanakan tiap Senin dan Kamis malam.
Sarana penunjang
Pengetahuan santri akan perkembangan dunia luar juga ditunjang dengan adanya koran berlangganan dan media internal santri: El Wardah yang mengelola majalah bulanan dan mading. Perpustakkan pesantren menyediakan cukup banyak literatur yang bisa dijadikan referensi dari berbagai bidang disiplin ilmu, baik karya klasik para ulama, buku-buku yang mengulas isu kontemporer, hingga fiksi islami yang menjadi inspirasi. Koperasi pesantren menyediakan berbagai kebutuhan logistik santri dan alat-alat sekolah.

Tenaga Edukatif
Tenaga Edukatif Madrasah Salafiyah diupayakan langsung serta merupakan tanggungjawab pondok pesantren, baik dalam pengadaan maupun kriteria yang ditentukan sebagai syarat yang harus dipenuhi staf pengajar. Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, tenaga pendidik tidak hanya diambil dari dalam pesantren namun juga dari luar pesantren, disesuaikan dengan bidang mata pelajaran yang diajarkan. Staf pengajar MID berjumlah 45 orang yang keseluruhanyya merupakan alumni PP. Salafiyah dengan jumlah siswi 1336 orang. Sedangkan MTs- MA diasuh oleh 35 guru, dengan perincian 18 orang ustadz dan 17 orang ustadzah. (Data tahun 2006). Adapun kegiatan ekstrakurikuler, diserahkan kepada segenap kelas 3 MA di bawah pengawasan seksi pendidikan.
Stuktur kepengurusan
Kepemimpinan Salafiyah ada dua macam: pusat dan cabang. Pimpinan pusat dijalankan oleh KH. Harisun Baihaqi selaku tokoh sentral dengan dibantu segenap keluarga pengasuh. Sedangkan pimpinan cabang mengurusi hal-hal yang bersifat teknis operasional selama menjadi kewenangan yang dilaksanakan oleh segenap jajaran pengurus (yang dibentuk oleh pimpinan pusat) dan dibantu oleh seksi-seksi dari siswi kelas 3 MA. Menjelang pertengahan tahun ajaran selama persiapan menghadapi EBTA MA tugas-tugas keorganisasian dilimpahkan pada siswi 2 MA.
(Profil singkat ini saya buat karena beberapa kali browsing di google dengan keyword PP. Salafiyah Bangil belum saya temukan profil yang representatif tentang kondisi riil pesantren ini. Di satu situs yang saya kunjungi, ada gambaran PP. Salafiyah era 80-90 an yang tentu kini keadaannya sudah sangat jauh berbeda. Semoga bermanfaat...)

Kamis, 02 April 2009

Lagi-lagi Soal Politik

Sejak beberapa bulan terakhir -dan tampaknya akan terus berlajut hingga beberapa pekan ke depan- isu yang paling banyak mendapat porsi pemberitaan di berbagai media adalah isu politik. Tak mau ketinggalan, dalam beberapa diskusi ringan kawan-kawanku pun kerap mengangkat politik sebagai tema utamanya. Kami yang awalnya tidak benar-benar tertarik (atau mungkin benar-benar tak tertarik?) akan dunia politik memulai pembahasan ini dengan menelusuri politik dalam pandangan Islam.
Banyak kalangan seolah mengharamkan politik untuk ditekuni, padahal tak ada ayat yang menjelaskan seperti itu. Mereka memandang politik dalam arti yang terlalu sempit serta cenderung menampilkan politik dalam wajah negatifnya. Seperti keculasan, penindasan, perebutan kekuasaan, pembunuhan, perang dan ceceran darah.
Politik dalam arti sempit dan wajah negatif ini seringkali muncul menjadi icon yang mewakili pengertian kata istilah politik. Padahal ini hanyalah sebuah aliran dan pemahaman subjektif dari Machiavelli yang termasyhur dengan nasihatnya, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan.
Tentu saja politik dalam konsep si Machivelli itu bukan sekedar diharamkan dalam syariat Islam, tetapi juga dikutuk. Bahkan turunnya syariat Islam salah satu perannya adalah untuk membasmi konsep politik orang Italia yang banyak diadopsi oleh para diktator itu.
Para Nabi dan Shahabat Adalah Politikus yang Benar
Dijelaskan lebih lanjut oleh Ust. Ahmad Sarwat, jika politik kita kembalikan pada arti dasarnya sebagai sebuah sistem untuk mengatur masyarakat atau negara dengan tujuan demi kemashlahatan umat manusia, maka politik itu suatu hal yang baik.
Bahkan sejak masa awal manusia diturunkan ke muka bumi dengan dikawal oleh para nabi dan rasul, tugas utama syariah adalah mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Dan itu adalah politik. Tapi bukan versi Machiavelli, melainkan versi langit alias versi syariah.
Maka bisa kita sebutkan bahwa menjalankan politik yang benar itu bukan hanya boleh, tetapi wajib bahkan menjadi inti tujuan risalah. Untuk mengatur politik-lah para nabi dan rasul diutus ke muka bumi, selain mengajarkan ritual peribadatan.
Diplomasi dengan Penguasa Zalim
Dalam realitasnya, ternyata para nabi dan Rasul pun bukan hidup di dalam hutan jauh dari politik kotor. Justru mereka berhadapan langsung -face to face- dengan para pelaku politik jahat. Bukankah Allah SWT memerintahkan kepada Musa untuk mendatangi Fir''aun?
Pergilah kepada Fir''aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.(QS. Thaha: 24)
Bahkan Nabi Musa as. sendiri lahir di dalam istana Fir''aun yang sedang aktif berpolitik kotor. Dan Musa ikut masuk dalam gelanggang politik berhadapan dengan Fir''aun, namun membawa konsep politk langit. Maka begitulah, sebagian besar isi Al-Quran yang bercerita tentang Nabi Musa as, lebihbesar porsinya tentang kisah politik Nabi Musa versus Fir''aun.
Datangnya Musa as berdebat dan berdiplomasi langsung ke istana Fir''aun, bukankah itu tindakan politik?
Perang
Selain Musa as., nyaris semua nabi memang menjadi pimpinan politik umatnya. Mereka tidak mengurung diri di dalam mihrab meninggalkan urusan duniawi, melainkan mereka ikut dalam semua aktifitas membangun bangsa. Bahkan tidak sedikit di antara para nabi itu yang wafat dalam perjuangan mereka di kancah politik. Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar.(QS. Ali Imran: 146)
Apakah perang bukan urusan politik?
Mengatur Kekayaan Negara
Nabi Yusuf as. juga seorang politkus yang handal dan sukses menyelamatkan negaranya dari berbagai krisis ekonomi. Bahkan Al-Quran secara nyata mengisahkan bagaimana deal-deal politik Nabi Yusuf as. untuk mengincar jabatan sebagai penguasa masalah logistik negara.
Berkata Yusuf, "Jadikanlah aku bendaharawan negara; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (QS. Yusuf: 55)
Apakah mengatur logistik dan kekayaan negara bukan urusan politik?
Kesimpulannya, politik dengan tujuan dan cara yang sesuai dengan misi ilahi, tentu saja hukumnya boleh dan bahkan wajib. Sedangkan berpolitik yang tujuan dan caranya bagai si Machiavelli itu, jelas haram bahkan dilaknat.

Selasa, 31 Maret 2009

Malangnya Orang Malang

Malang benar nasib kami warga Malang. Sejak Desember tahun lalu, satu per satu stasiun TV favorit menghilang dari peredaran. Awalnya Metro TV, kemudian diikuti Trans TV, Trans 7, TV One, Global TV dan beberapa stasiun TV lokal. Terhitung 11 stasiun TV tak lagi mengudara di Malang. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah stasiun TV tersebut tidak mengantongi ijin beroperasi di Malang dan sekitarnya.
Gara-gara ulah Balmon (Balai Monitoring) ini terjadi pembodohan massal di Malang. Pasalnya, stasiun TV yang dicekal adalah yang berkualitas dan menambah wawasan pemirsa akan isu yang tengah berkembang. Masyarakat hanya dicekoki dengan tayangan yang sangat tidak bermutu yang menjual sinetron-sinetron yang banjir air mata buaya, reality show yang penuh kebohongan dan acara gosip yang memuakkan! Satu-satunya yang tidak menyiarkan omong kosong adalah TVRI. Yah, walaupun beberapa tayangannya terkesan 'jadul', tapi jelas masih lebih mendidik dibanding lainnya.
Kabarnya, di Madiun juga terjadi masalah yang sama, tapi semuanya kini sudah diselesaikan dan kembali normal. Mengapa Malang Raya masih dalam kegelapan jahiliyah? Apakah prosedur perijinan di Kota Malang yang notabene kota terbesar ke-2 di Jatim ini tak lebih baik daripada Madiun? Entah apa alasan sebenarnya, yang jelas mulai terdengar kasak-kusuk warga yang curiga ada 'main' antara pihak pemerintah dengan pengusaha TV kabel. Kabar angin ini berhembus santer, mengingat stasiun TV yang dibrendel adalah TV yang banyak diminati kalangan menengah ke atas, yang tentunya memiliki memiliki daya beli tinggi. Atau bisa juga ada upeti yang belum lunas terbayar, entah pada Pemda atau Depkominfo atau apalah itu..Ups kok jadi buruk sangka gini sih, bisa saja kan semua ini memang kesalahan pihak TV yang tak serius melengkapi syarat-syarat perijinan (yang mungkin terlalu berbelit-belit).
Apapun alasannya, yang jelas rakyat kecillah yang dirugikan!

Senin, 30 Maret 2009

How To Be a Leader


Masing-masing kita adalah pemimpin, setidaknya untuk diri sendiri. Pemimpin yang baik, selain harus kompeten di bidangnya, setidaknya juga harus memiliki sifat seperti matahari, bulan, bintang, angin, api, awan, samudra dan bumi.

  • matahari : Harus mampu mengobarkan semangat dan membangkitkan kekuatan spirit pada anak buahnya
  • Bulan : harus menarik, bisa menciptakan suasana kerja yang kondusif dan akrab serta menjadi penerang saat muncul gelap

  • Angin : Harus mampu berkomunikasi dengan baik, mampu memotivasi dan mengisi kekurangan anak buahnya dengan ungkaan yang menyejukkan, bukan sekedar mencela.

  • api :Harus dapat bersikap tegas tanpa pandang bulu dan ragu-ragu

  • Awan : Harus memiliki kewibawaan yang kuat

  • Samudra dan Bumi : Harus mampu menampung segala permasalahan, tetap sabar dan tenang dalam memberikan solusi.


Minggu, 29 Maret 2009

Indahnya Bahasa Indonesia dan Anehnya Bahasa Malaysia

*INDONESIA : Kementerian Hukum dan HAM
MALAYSIA : Kementerian Tuduh Menuduh
*INDONESIA : Kementerian Agama
MALAYSIA : Kementerian Tak Berdosa
*INDONESIA : Angkatan Darat
MALAYSIA : Laskar Hentak-Hentak Bumi
*INDONESIA : Angkatan Udara
MALAYSIA : Laskar Angin-Angin
*INDONESIA : “Pasukaaan bubar jalan !!!”
MALAYSIA :”Pasukaaan cerai berai !!!”
*INDONESIA : Merayap
MALAYSIA : Bersetubuh dengan bumi
*INDONESIA : rumah sakit bersalin
MALAYSIA : hospital korban lelaki
*INDONESIA : telepon selular
MALAYSIA : talipon bimbit
*INDONESIA : Pasukan terjung payung
MALAYSIA : Aska begayut
*INDONESIA : belok kiri, belok kanan
MALAYSIA : pusing kiri, pusing kanan
*INDONESIA : Departemen Pertanian
MALAYSIA : Departemen Cucuk Tanam
*INDONESIA : gratis bicara 30 menit
MALAYSIA : percuma berbual 30 minit
*INDONESIA : Satpam/sekuriti
MALAYSIA : Penunggu Maling
*INDONESIA : pejabat negara
MALAYSIA : kaki tangan negara
*INDONESIA : pemerkosaan
MALAYSIA : perogolan
*INDONESIA : Pencopet
MALAYSIA : Penyeluk Saku
*INDONESIA : joystick
MALAYSIA : batang senang
*INDONESIA : Tidur siang
MALAYSIA : Petang telentang
*INDONESIA : remote
MALAYSIA : kawalan jauh
*INDONESIA : kulkas
MALAYSIA : peti sejuk
*INDONESIA : chatting
MALAYSIA : bilik berbual
*INDONESIA : rusak
MALAYSIA : tak sihat
*INDONESIA : keliling kota
MALAYSIA : pusing pusing ke Bandar
*INDONESIA : Tank
MALAYSIA : Kereta kebal
*INDONESIA : bioskop
MALAYSIA : panggung wayang
*INDONESIA : rumah sakit jiwa
MALAYSIA : gubuk Gila
*INDONESIA : dokter ahli jiwa
MALAYSIA : Dokter Gila
*INDONESIA : pintu darurat
MALAYSIA : Pintu kecemasan
*INDONESIA : Wortel
MALAYSIA : Karet
*INDONESIA : Air Bening
MALAYSIA : Air Kosong

sumber: http://ngakak.blogdetik.com/

Kamis, 26 Maret 2009

Filsafat Air Mengalir


Air sumber kehidupan. Darinya segala macam kehidupan berawal dan kepadanya segala yang hidup menggantungkan kelangsungan hidupnya.. Jika kita ingin memiliki peranan penting dalam masyarakat sebagaimana air, coba kita renungkan apa yang membuatnya begitu berarti:

* Air yang mengalir dapat menyuburkan tanah sekitar, menumbuhkan tanaman dan menghasilkan buah; mengajarkan pada kita agar kita senantiasa berusaha memberikan manfaat, melayani masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Khairu an naas anfa'uhum li an naas

* Bersih dan jernih adalah sifat air yang masih alami; melambangkan kejernihan hati, kejujuran dan keadilan

* Aliran-aliran kecil bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya menjadi sungai besar; jika ingin berhasil, maka kita harus saling membantu dan bekerjasama untuk mencapai tujuan.

* Aliran air setiap waktu berubah; mengajarkan bahwa kehidupan ini harus dinamis, selalu bergerak untuk berubah menjadi lebih baik. Jika air berhenti mengalir maka akan membusuk, demikian pula manusia harus kreatif dan inovatif jika ingin tetap eksis.

* Sungai mengalir dari atas ke bawah; melambangkan kerendahan hati dan sopan santun, orang yang di atas harus mendatangi yang di bawahnya.

* Air dengan mudah melewati bebatuan. Bila bertemu kerikil ia akan mengalir di atasnya namun bila menjumpai batu besar ia lewat di sampingnya; menggambarkan pribadi yang luwes, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri.

* Air mendatangkan banyak kebaikan bagi lingkungannya, tapi bila lingkungannya dirusak maka ketika hujan turun akan terjadi banjir yang menerjang segala yang dilaluinya; ada saatnya bersikap lembut namun juga ada kalanya bersifat tegas.

* Sungai menampung sampah, kaleng bekas bahkan kotoran manusia; mengajarkan kita untuk siap menerima masukan dan kritik sekalipun menyakitkan tapi harus ditanggapi dengan tenang dan obyektif.

* Sungai yang masih alami suaranya gemericik indah; Orang yang bijak akan selalu menjaga komunikasi yang baik dengan tuhannya dan dengan sesamanya.

Begitu banyak yang bisa kita pelajari dari air, tak salah bila air (sungai) menjadi sifat surga yang disebutkan berdampingan dengannya dalam 40 ayat dalam al Quran.

Senin, 16 Maret 2009

Woooi, Pada ke Mana Sih?

Romantisme masa lalu kerap terbayang kala kerinduan terhadap tempat yang pernah membesarkan kita muncul. Tak sekedar terhadap tempatnya saja, tetapi juga terhadap para pengasuh dan segenap “pelaku sejarah”, makhluk-makhluk yang pernah bernasib sama, dididik di sebuah bangunan bertingkat di sebuah perkampungan padat Kauman- Bangil.
Banyak hal telah kita lewati dalam perjalanan ini, yang kadang dengan mengenangnya kita bisa tersenyum simpul atau mencibir benci. Suatu paradoks, justru kita merasakan indahnya kebersamaan di tengah berbagai kepayahan dan deraan kerinduan pada keluarga.
Alangkah indahnya kalau kita dapat berkumpul kembali, mengenang yang telah kita lalui, membangun sebuah komunitas di “pondok baru” -pondok virtual- meski hanya sekedar chatting ataupun comment dalam blog. Sayangnya, tak mudah melacak keberadaan saudara seperguruan alumni Salafiyah di ranah maya meski dengan bantuan 'mbah google'. Mungkin saja mereka terselip diantara lipatan lembar-lembar fesbuq atau frenster. Smoga suatu saat silaturrahmi ini bisa terjalin kembali. Smoga...

Kamis, 12 Maret 2009

PNPM Nama Partai Juga Bukan Yak?

Kau sudah tau belom (kalo aku sih baru tauk!:D), ternyata ada 34 partai nasional plus 10 partai lokal di NAD lolos melenggang ke pemilu 2009, membengkak dari jumlah partai di pemilu 2004 yang hanya 24 partai, meski tak lebih banyak dari peserta pemilu 1999 yang menembus angka 48. (Hebat betul kan?! Bandingkan dengan pemilu di AS yang hanya diikuti 2 partai besar)
Satu kejanggalan, yang ikut andil 'menghiasi' jalanan di kota Malang ko cuma partai warna lampu lintas dan beberapa partai besar ajah yah? Lha yang laen pada kemana? Apa mereka cuma sebagai penyemarak? Atw karna udah yakin ga dapet penggemar trus milih skalian ajah ga nampang?Atw jangan-jangan seperangkat atributnya masih ditahan perusahaan printing gara-gara belum beres pembayarannya? Atw...Ah terserah lah!
Tapi seru juga, tiap nemu nama partai yang ga terkenal orang rumah pada rame ngarang kira-kira apa kepanjangannya. Sampe ada yang nyletuk: PNPM tuh nama partai juga bukan yak?
Adalah Bang Lukman Hakim yang kreatif banget menampilkan profil partai-partai yang tak lolos seleksi KPU. Beberapa diantaranya:

(1)
Nama Partai:Pantura (Partai Tempat Usaha Rakyat [?])
Semboyan/Jargon:Jalur Pantura Belok Kanan
Profil singkat dan sebab tidak lolos Pemilu 2009: Berangkat dari kekhilafan pengurus partai yang mendaftarkan partainya ke KPU dan memberikan tanda penunjuk jalan Pantura (Pantai Utara) sebagai logo partai. Belakangan diketahui bahwa PANTURA singkatan dari Partai Tempat Usaha Rakyat dan logo yang didaftarkan salah. Kebetulan salah satu pengurus PANTURA adalah ketua RT di daerah Pantura (Pantai Utara), sewaktu mendaftarkan ke KPU terburu-buru dan logo yang didaftarkan malah tanda penunjuk jalan Pantura.


(2)
Nama Partai:PARTAI NYURUH
Singkatan Partai:-
Semboyan/Jargon:Laksanakan segera!
Profil singkat dan sebab tidak lolos Pemilu 2009: Sekelompok orang yang disebut majikan, merasa tak puas dengan pekerjaan bawahannya, membentuk partai dengan nama Partai Nyuruh. Didasarkan pada satu solidaritas bersama menyatukan kekuatan untuk menyuruh bawahannya, apalagi yang tergolong bandel, mbeling dan ndablek. Ketika didaftarkan, KPU langsung mencoret partai ini karena baru berbentuk partai saja bisanya hanya main perintah, menyuruh-nyuruh, bagaimana bila menjadi wakil rakyat?
(3)
Nama Partai: PPPK
Singkatan Partai: Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Semboyan/Jargon:-
Profil singkat dan sebab tidak lolos Pemilu 2009: Sekelompok profesi paramedis muslim mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi partai-partai di Pemilu 2009. Setelah diteliti, tidak ada AD/ART dan berkas-berkas administratif yang menunjukkan organisasi ini adalah partai. Logo yang dipakai adalah kotak obat yang diganti warnanya dengan nuansa hijau kuning dan hitam. Keputusan KPU mencoret dari kepesertaan Pemilu 2009 karena organisasi ini lebih pada sekelompok profesi paramedis, bukan sebagai partai.

(4)
Nama Partai: TOKO GERINDA
Singkatan Partai: -
Semboyan/Jargon: Jual Perkakas dan Bahan Bangunan
Profil singkat dan sebab tidak lolos Pemilu 2009: Seorang karyawan dari Toko Gerinda (diduga stres akibat pekerjaan), secara iseng mendaftarkan logo toko tempatnya bekerja pada KPU untuk mengikuti seleksi partai di Pemilu 2009. Setelah diteliti, tidak ada AD/ART dan berkas-berkas administratif yang lengkap selain logo toko. Karyawan tersebut telah diamankan oleh pihak yang berwajib. Setelah lewat berbagai pemeriksaan, karyawan yang bersangkutan akhirnya dikirimkan ke Rumah Sakit Jiwa.

Profil partai laennya bisa dilihat langsung di sumbernya. Hihihi...lumayan juga, ternyata ngomongin pemilu bisa bikin kita ketawa juga yah :D

Minggu, 01 Maret 2009

Tarekat Al Blogiyah


Di tengah maraknya pemblokiran terhadap tarekat-tarekat baru yang tidak dianggap mu'tabar (bersambung sanad dengan Nabi saw.), ada satu tarekat baru yang dalam beberapa tahun terakhir kian menjadi fenomena: TAREKAT AL BLOGIYAH. Jamaah tarekat ini menjadikan NETTERs sebagai gurunya. Diantara ritual hariannya: membuat entri, Blogwalking, meninggalkan komentar, menautkan link dan riset kecil-kecilan untuk bahan postingan. Pantangannya adalah mengutip tanpa mencantumkan sumbernya dan mengklaimnya sebagai buah otak sendiri; membajak karya blogger lain. Yang menarik dari tarekat ini, jamaahnya tak terbatas dengan beragam latar belakang dan tersebar di 4 penjuru mata angin. Selain itu aspek kebabasan benar-benar ditonjolkan. Jamaah bebas berekspresi dan menyampaikan apapun diblognya dengan tetap mengedepankan kesantunan dalam bertutur, mengingat siapapun bisa mengaksesnya dengan hanya sekali klik.

Aktivitas bloging di Indonesia bisa dikatakan mendapat dukungan penuh dari pemerintah, terbukti dengan ditetapkannya tanggal 27 Oktober sebagai hari blogger Nasional oleh menkominfo M. Nuh sejak tahun 2007 lalu. Tak seperti di negeri Mesir, IraN dan Cina yang merupakan tempat berbahaya untuk nge-blog. Di negeri itu para jamaah tidak mendapatkan kebebasan dalam menulis. Ditjen depkominfo menuturkan bahwa (menurut prediksi beliau) jumlah blogger hanya sekitar 300 ribu dari total pengguna internet yang mencapai 30 juta orang. Artinya, masih banyak netter yang belum memanfaatkan TI secara maksimal.

Banyak tudingan miring yang ditujukan pada jamaah blogiyah -yang didominasi anak muda- ini. Acap kali mereka dituding hanya buang-buang waktu saja, kurang kerjaan dan komentator yang NATO alias no action talk only. Padahal tak sedikit manfaat yang bisa didapat oleh para jamaah ataupun non-jamaah. Dengan berbagai kemudahan, mereka bebas menyampaikan ide atau pendapat -tentang apapun- berdasarkan perspektif masing-masing. Bayangkan saja seandainya (sekurang-kurangnya) ada 100 blogger dari beberapa komunitas membahas 1 tema seragam melalui pendekatan yang berbeda, tentu akan memperkaya khazanah keilmuan para pembacanya yang membuat mereka tak picik memandang perbedaan. Sekalipun hanya menulis, setidaknya itu cukup menunjukkan kalau mereka 'peduli', dan itu jelas lebih baik dari pada mereka yang sudah no action, no talk pula. Kini telah banyak komunitas bloger yang beraksi secara offline, yaitu dengan turun langsung ke dunia nyata. Perlu diingat, menulis adalah budaya intelektual yang menjadi ciri civil society yang harus menjadi budaya kita. Lebih jauh, Tony Nugroho mengatakan bahwa blog bisa berfungsi sebagai alat kontrol yang baik dan dan murah bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik, jika diterapkan secara lebih fair dan bertanggung jawab.

Secara psikologis, Aktivitas menulis blog merupakan proses belajar. Ketika kita mengungkapkan perasaan kita melalui suatu blog, kita akan belajar untuk mengenal perasan-perasaan dan emosi-emosi yang muncul dari suatu peristiwa dalam keseharian kita. Semakin sering kita menyadari hal tersebut semakin kita mengenal diri kita sendiri sehingga pada situasi yang sama, kita akan belajar untuk mengontrol emosi tersebut. Hal ini merupakan salah satu dari dasar pemikiran Aaron Beck yang terkenal dengan terapi kognitifnya.

Walau berjibun manfaatnya, tak dapat dipungkiri ada pula jamaah blogiyah yang ndablek -semoga ALLAH mengampuni mereka- yang mengacuhkan etika dalam beraksi di blogsphare. Yah, dengan keadilanNYA segala sesuatu memang tercipta dengan dua sisi, tergantung bagaimana para makhluk menyikapi..

Tepatlah kiranya di titik ini, sebagai tarekat (arab: jalan), BLOGING dianggap bukan sebagai tujuan, melainkan hanya media untuk memulai. Tujuan sebenarnya adalah tindakan di dunia nyata..

Sabtu, 14 Februari 2009

Musim Buah Parpol

Kawan, musim hujan identik dengan musim buah. Ada Durian, Rambutan, Jambu biji, Jeruk bahkan beraneka Pisang (kalo yang satu ini sih tak kenal musim!). Tapi terkadang jenis buah yang sedang 'in' di suatu daerah berbeda dengan yang lagi marak di daerah lain. Tahukah kalian, ada satu jenis buah yang kompak menjadi trend di seluruh wilayah negeriku Indonesia saat ini, mulai Sabang sampai Merauke (kecuali Timor Timur pastinya): pohon berbuah atribut partai! Baik berupa bendera, baliho, spanduk, stiker atau apapun itu yang bergambar logo parpol ataupun foto calegnya, tersedia mulai ukuran S sampai XXXL. Hebatnya, tak hanya pohon, bahkan lengan jembatan, dinding, atap rumah sampai tiang listrik pun kini ramai berbuah aneka warna.
Melihat fenomena jor-joran 'sampah' parpol itu, yang terlintas di benak orang awam macam saya hanyalah: "Jangan sekali-kali memilih partai atau caleg yang tak punya wawasan keindahan dan kelestarian lingkungan!"
Melintasi jalan-jalan kota yang begitu semarak warna-warni, saya berpikir sederhana saja: sebenarnya untuk apa mereka memasang semua atribut itu? Apakah dengan pemasangan itu mereka akan mendapat dukungan pemilih? Rasanya, walau sebodoh-bodohnya pemilih, saya takkan memilih seseorang atau suatu partai hanya karena melihat gambarnya bertebaran di ketiak pohon-pohon peneduh jalan.
Yang saya pahami dari tulisan Pak Bramastia, ketika upaya membangun eksistensi politik hanya sebatas melalui bendera, justru akan menunjukkan sikap narsis dari para politisi yang sebenarnya. Meneguhkan identitas tak cukup dengan simbol belaka. Seolah-oleh mereka ingin mengaburkan opini masyarakat -untuk tidak mengatakan membodohi- dengan mengklaim keberadaan bendera sebagai parameter politik. Semakin banyak atribut yang terpasang, berarti semakin tak terhitung pula massa pendukungnya, mungkin itulah yang ingin mereka umumkan. Agaknya, mereka paham betul akan watak sebagian (besar atau kecil?) rakyat Indonesia yang menganut paham latahisme, suka ikut-ikutan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, hanya berdasarkan asumsi bahwa yang pantas diikuti adalah kelompok yang (tampaknya) memiliki banyak pengikut.
Mestinya mereka memakai cara yang lebih terpelajar untuk memancing simpati pemilih: Setia pada ideologi partai, sosialisasi visi dan misi yang relistis, menunjukkan komitmen untuk mewujudkan kemakmuran disertai pembuktian melalui program nyata politik (bukan sekedar ritual pengibaran bendera sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya). Seharusnya mereka mempelajari dan menganalisis lebih dalam kultur politik, ekonomi dan relasi sosial masyarakat setempat, yang selanjutnya bisa menjadi ide-ide brilian untuk lebih mendekatkan diri dengan rakyat, bahkan bisa jadi mungkin jauh lebih efektif dibanding memasang spanduk dan baliho di pinggir jalan. Dan yang lebih diutamakan rakyat hari ini, adalah materi kampanye harus sesuai dengan kondisi masyarakat sehari-hari dan juga tindakan nyata dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dari sang Caleg, seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie “Ide yang turun dari langit dan tidak membumi tidak kuat akarnya."
Melihat realitas politik "semu" saat ini, kita harus teliti menilai wajah politisi bangsa ini sesungguhnya. Inilah momentum untuk kita rakyat jelata membuktikan diri sebagai warga yang cinta pada negeri tanah air tumpah darahnya: dengan menentukan pilihan secara CERDAS!
Tulian ini saya buat berdasarkan kebodohan saya akan dunia politik, bila ada kawan yang berkenan berbagi pengetahuan, tentu akan sangat berharga.

Selasa, 10 Februari 2009

Membaca Kitab Kehidupan (2)

Banyak kalangan mulai mempertanyakan kemampuan pesantren dalam menjawab tantangan kemajuan jaman. Agaknya, selain meragukan kualitas akademik alumni pesantren mereka juga menilai dunia pesantren sengaja membangun 'komunitas eksklusif' yang membuatnya enggan membuka diri serta bersinggungan dengan berbagai realitas yang tengah terjadi di masyarakatnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya tudingan tersebut, yang jelas dunia pesantren harusnya menjadikan isu itu sebagai kritik konstruktif yang memacunya untuk terus berbenah, salah satunya dengan kembali membudayakan tradisi literat di kalangan akademisinya. Tak dapat dipungkiri bahwa para kiai terdahulu tak hanya menyandang predikat agamawan, namun juga budayawan serta sastrawan. Kiai dahulu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap budaya serta mampu melahirkan karya-karya bermutu. Tradisi menulis seolah menjadi rutinitas sehari-hari setelah mengajar santri. Tiada hari tanpa mengajar dan menulis, mungkin itu motto hidup kiai di masa lalu.
Tradisi menulis di pesantren sudah dimuai sejak lama, bahkan semenjak zaman para wali songo dengan Tembang Dandang Gulanya (Sunan Kalijaga), Sinom (Sunan Muria) dan seterusnya. Shalawat Badar karya Kiai Ali Mansur Tuban juga amat populer dan menjadi shalawat wajib bagi kaum sarungan. Siapa yang tak kenal dengan syair 'Tombo Ati' yang amat populer itu. Begitu populernya karya ini nyaris jadi bacaan wajib di surau-surau di pedalaman jawa. Belum lagi lir-ilir gubahan Sunan Kalijogo yang tak kalah kesohor.
Era selanjutnya diisi oleh Raden Ronggowarsito dengan Serat Kalatida, Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Mahfudz Termas, Syeikh Hamzah Fanshuri, Syeikh Abdur Rauf Sinkel Aceh, Syeikh Khatib Sambas, Syeikh Ihsan Jampes. Menantu Kiai Siddiq, yaitu Kiai Abdul Hamid Pasuruan, tak kalah kreatif. Ia mensyairkan Sullam At Taufiq --sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak ghozalian dan menjadi maistream pemahaman Islam Sunni Indonesia-- dalam 553 bait. Selain itu, ia juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal dengan Al Asma' Al Husna. Pada era modern tradisi menulis di pesantren diwakili oleh KH Wahid Hasyim, KH Saifuddin Zuhri, KH Bisri Musthafa. Pada era 1980-an ada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Musthafa Bisri (Gus Mus) dan seterusnya.
Tapi, sayangnya tradisi menulis dan kerja-kerja budaya kiai telah jarang dan tak banyak diwarisi oleh kiai-kiai (dan santri) sekarang. Apalagi, beberapa tahun terakhir, terlalu banyak aktivitas di luar yang mereka geluti, terutama di kancah politik. Proses kreatif yang dulu mampu menghasilkan karya-karya monumental tak ada lagi, sehingga tradisi menulis di institusi pendidikan tertua di Indonesia itu terancam mandek atau bahkan mati.
Kini sudah saatnya tradisi literat kembali dihidupkan di lingkungan pesantren. literasi, dalam arti sederhana, berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks yang labih luas, literasi bisa diartikan melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Dari definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang diperlukan bukan sekedar membaca, namun juga berpikir kritis. Tak hanya rajin mencari rujukan dari teks yang tertulis, tapi juga mengkaji kitab kehidupan yang terbuka lebar. Amat disayangkan, teks yang dibaca terkadang lewat atau mengendap begitu saja tanpa menghasilkan manfaat apapun. Di sinilah mutlak dibutuhkan kemampuan mengikat makna dari bacaan tersebut, melengkapinya dengan berbagai referensi dan kemudian mereproduksinya. Inilah tujuan dari membaca kritis yang rupanya masih belum dimiliki oleh sebagian besar santri. Para santri harusnya bermetamorfosis dari obyek yang pasif menjadi subyek yang aktif. Berani mengkaji apapun dan mengambil kebenaran dari manapun, tak hanya menunggu ceramah para ustadz di depan kelas.
Tumbuhnya media internal di kalangan santri, patut diberikan apresiasi. Sebagai agen perubahan sosial, santri diharapkan tidak hanya piawai mentransfer ilmu lewat kata, tetapi juga tulisan. Dokumentasi literasi ini sangat dibutuhkan agar bisa dilacak oleh lintas generasi. Sekarang ini, budaya santri literat mutlak dibutuhkan agar kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan institusi pendidikan lainnya. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Sumber:

Sabtu, 07 Februari 2009

Membaca Kitab Kehidupan (1)

Di sini dikisahkan tentang seorang Gus dari sebuah pesantren di daerah Jawa Barat. Suatu hari dia mengatakan pada temannya bahwa sebagai santri dia selalu dibawa ke masa lalu. Pasalnya, bacaan wajib para santri adalah kitab-kitab yang ditulis ratusan tahun yang lalu. Kitab-kitab tersebut (baik fikih, kalam, tafsir, maupun politik) tentu saja mewakili nafas zamannya. Yaitu, nafas ketika para cendekia Islam berbicara dari mimbar masanya jauh di seberang sejarah.
Dia tidak menemukan pengetahuan kemanusiaan yang nyata, yang benar-benar menjadi realita hari ini dan di sini. Yang mendominasi topik bahasan di pesantren adalah ilmu agama yang dipahami dalam kacamata masa lalu dan dipelajari untuk menggapai kebahagiaan di seberang kehidupan dunia. Lalu kapan orang akan punya perhatian terhadap kehidupan nyata yang benar-benar dihadapi sat ini? Padahal kekini dan di sini-an adalah ruang sejarah di mana kita hadir dan harus meng-aktualisasikan diri.
Sebenarnya mempelajari karya klasik para cendekia abad pertengahan bukanlah hal yang sia-sia. Kita bisa menengok kearifan mereka, mempelajari metode serta memetakan jalan pikiran mereka. Mengingat hingga kini, semenjak kejumudan ilmuwan muslim dimulai pada masa runtuhnya Baghdad, tak banyak kita temukan ilmuwan yang kualifikasinya sejajar dengan para tokoh di jaman keemasan. Tanpa bermaksud mengungkit kegemilangan masa lalu, Namun tidak dapat dinafikan, selama beberapa abad dari abad kesembilan hingga abad kesembilan belas umat Islam merupakan pimpinan intelektul di segala bidang, bahkan sains dan teknologi. Sebagai muslim tentunya kita bangga dengan lintasan yang gemilang dalam sejarah peradaban Islam itu.
Namun tentu yang tak kalah pentingnya adalah menerjemahkan kandungan literatur-literatur klasik itu ke dalam konteks kekini dan disini-an serta melengkapinya dengan berbagai bidang ilmu 'masa kini' yang perkembangannya begitu dinamis. Merambah berbagai realitas kekinian, dan menyelami beragam kelompok masyarakat tanpa kehilangan identitas sebagai santri. Dengan demikian kita bisa menampilkan wajah pesantren (salaf) yang sederhana dan tetap teguh mempertahankan tradisi salaf al-shalih sebagai ruh utamanya. Namun, sangat modern dalam arah pandang dan paradigma berpikir, sehingga mampu memperlihatkan ketangkasannya menyikapi akselerasi zaman secara elaboratif. Prinsipnya, Al muhafadzah 'ala al qadiim ash shalih wa al akhdzu bi al jadiid al aslah.