Euforia pilpres benar-benar menyemarakkan berbagai media kita belakangan ini. Baik media cetak ataupun elektronik seakan berlomba menyajikan informasi terkini dan terlengkap seputar pilpres. Mulai mengadakan acara debat resmi, talk show ringan bersama sang capres-cawapres, menampilkan profil kandidat plus visi misinya, dan apapun itu yang bisa menjadi referensi bagi kita untuk menentukan pilihan 8 Juli mendatang. Tak semuanya netral, ada juga beberapa acara yang dibuat untuk menyerang atau mengunggulkan salah satu pasangan kandidat. Kita sebagai konsumen yang harus pandai-pandai menilai.
Pintu informasi sudah terbuka lebar, tapi beberapa kali saya iseng bertanya pada beberapa kawan dan keluarga apakah sudah menentukan pilihan, mayoritas menjawab belum! Mungkin inilah cermin dari rendah kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan politik. Mereka masih menganggap dunia politik itu dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia mereka. Mereka tak sadar, menghendaki pemimpin yang berkualitas harus dimulai dari menjadi pemilih yang berkualitas pula. Saya pun awalnya punya pemahaman yang sama seperti mereka, tapi setelah banyak informasi yang saya terima, saya pun menyadari pentingnya pemahaman yang utuh tentang politik, meskipun maaf saja, saya tidak sedikitpun berminat terjun ke politik praktis yang saya rasa sangat tak sesuai untuk saya yang (sok) idealis ini.
Para kandidat pun harus memberi informasi yang benar pada masyarakat, terutama dalam mengiklankan dirinya. Iklan harus faktual dan ‘menjual’, dan karena faktor yang kedua itulah fakta yang disampaikan tak utuh, tapi dipilah dan dipilih yang menguntungkan saja. Semua pasti mengunggulkan diri sendiri dan menjatuhkan lawannya, tapi dari etika dan cara yang dipakai selama kampanye, kita bisa menilai seperti apa para kandidat itu sebenarnya. Ada yang agresif karena selalu menyertakan kecaman pada kandidat lain dalam materi kampanyenya, ada yang defensif karena sebagai incumbent dia sudah merasa di atas angin yang menimbulkan kesan arogan dan membosankan, tapi ada juga yang sportif yang mengaku yakin menjadi yang terbaik tapi jika ternyata kandidat lain yang memenangkan laga ini, dia akan mendukung sepenuhnya sang ‘pemenang’ siapapun itu.
Karena takut salah memilih banyak juga diantara kita yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal, golput itu haram hukumnya jika kita merujuk pada fatwa MUI. Menurut hemat saya, asalkan kita sudah berusaha mencari informasi tentang siapa yang paling layak dipilih kalaupun ternyata pendapat kita salah, itu bukanlah suatu dosa. Bukankah seorang mujtahid yang berusaha mencari hukum jika pendapatnya benar mendapat 2 pahala dan jika salah tetap mendapat 1 pahala?
Pintu informasi sudah terbuka lebar, tapi beberapa kali saya iseng bertanya pada beberapa kawan dan keluarga apakah sudah menentukan pilihan, mayoritas menjawab belum! Mungkin inilah cermin dari rendah kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan politik. Mereka masih menganggap dunia politik itu dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia mereka. Mereka tak sadar, menghendaki pemimpin yang berkualitas harus dimulai dari menjadi pemilih yang berkualitas pula. Saya pun awalnya punya pemahaman yang sama seperti mereka, tapi setelah banyak informasi yang saya terima, saya pun menyadari pentingnya pemahaman yang utuh tentang politik, meskipun maaf saja, saya tidak sedikitpun berminat terjun ke politik praktis yang saya rasa sangat tak sesuai untuk saya yang (sok) idealis ini.
Para kandidat pun harus memberi informasi yang benar pada masyarakat, terutama dalam mengiklankan dirinya. Iklan harus faktual dan ‘menjual’, dan karena faktor yang kedua itulah fakta yang disampaikan tak utuh, tapi dipilah dan dipilih yang menguntungkan saja. Semua pasti mengunggulkan diri sendiri dan menjatuhkan lawannya, tapi dari etika dan cara yang dipakai selama kampanye, kita bisa menilai seperti apa para kandidat itu sebenarnya. Ada yang agresif karena selalu menyertakan kecaman pada kandidat lain dalam materi kampanyenya, ada yang defensif karena sebagai incumbent dia sudah merasa di atas angin yang menimbulkan kesan arogan dan membosankan, tapi ada juga yang sportif yang mengaku yakin menjadi yang terbaik tapi jika ternyata kandidat lain yang memenangkan laga ini, dia akan mendukung sepenuhnya sang ‘pemenang’ siapapun itu.
Karena takut salah memilih banyak juga diantara kita yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal, golput itu haram hukumnya jika kita merujuk pada fatwa MUI. Menurut hemat saya, asalkan kita sudah berusaha mencari informasi tentang siapa yang paling layak dipilih kalaupun ternyata pendapat kita salah, itu bukanlah suatu dosa. Bukankah seorang mujtahid yang berusaha mencari hukum jika pendapatnya benar mendapat 2 pahala dan jika salah tetap mendapat 1 pahala?
Nah, masih ada waktu untuk mengenal lebih dekat sosok ketiga pasangan kandidat capres-cawapres kita ini. Jangan sampai kita memilih orang yang tidak layak memimpin kita..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar