welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Rabu, 15 Oktober 2008

Belajar dari Kekhilafan Nabi Adam

Tatkala Allah mengeluarkan Nabi Adam dan ibu Hawa dari surga, timbul pertanyaan yang perlu direnungkan: apakah Allah menurunkan mereka ke bumi sebagai hukuman karena melanggar laranganNya? Seandainya mereka tidak memakan buah khuldi apakah mereka tetap dikeluarkan dari surga, tidak diturunkan ke bumi?
Diturunkannya Nabi Adam dan istrinya ke bumi memang karena pelanggaran itu, namun mereka turun ke bumi tidak membawa dosa, karena Allah sudah menyambut taubat mereka (al baqarah 37). Semua nabi punya sifat maksum, terjaga dari maksiyat. Adapun pelanggaran yang dilakukan nabi Adam, tentu berbeda dengan maksiyat yang dilakukan selain nabi. Ada hikmah tasyri’ atau imtistal yang tersembunyi di balik itu semua. Dan diturunkannya Nabi Adam karena pelanggaran ini juga berdasarkan skenario Allah. Allah telah menyiapkan nabi adam dan anak cucunya sebagai kholifah di bumi (al Baqarah 30). Allah yang Maha bijaksana tak mungkin serta merta mengusir nabi Adam tanpa berbuat kesalahan. Kalau Nabi Adam tetap di surga, bagaimana beliau menjalankan tugas kekholifahannya di bumi?
Informasi ini memancing pertanyan selanjutnya, kalau Adam diciptakan untuk menghuni bumi lalu untuk apa Allah terlebih dahulu menempatkannya di surga? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab karena menyangkut masalah metafisika. Sama sulitnya dengan menjawap pertanyaan untuk apa alam diciptakan. Yang dapat kita lakukan hanyalah sebatas jangkauan akal kita, mencari hikmah transitnya nabi Adam di surga. Secara sederhana dapat dikatakan hal ini agar beliau berdua mendapatkan pengalaman hidup di surga, sehingga ketika telah diturunkan ke dunia diharapkan dapat membangun bumi sebagaimana yang mereka lihat di surga. Dr Qurays Sihab dalam bukunya membumikan Al quran menyatakan bahwa melalui transit di surga diharapkan Adam dapat menciptakan bayang-bayang surga di bumi ini dan bayang-bayang itulah yang dipandang sebagai cita-cita social ajaran Islam. Dalam surat Thaaha 118-119 dijelaskan bahwa orang yang tinggal di surga tidak akan kelaparan, telanjang dan tidak kepanasan. Inilah simbolisasi dari sandang, pangan dan papan. Di surat lain Allah menggambarkan kehidupan di surga itu penuh kedamaian, keharmonisan dan tak ada dosa (56:66). Kehidupan di surga seperti inilah yang harus diwujudkan di dunia sebagai tugas kekholifahan: memakmurkan bumi.
Selanjutnya tatkala Allah menjadikan Adam sebagai kholifah di bumi, malaikat protes: Qaaluu ataj'alu fiiha man yufsidu fiihaa wa yasfiku ad dimaa' wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka
Allah menjawab: Qaala inni a'lamu maa laa ta'lamuuna
Yang tidak diketahui para malaikat itu adalah bahawa Adam mampu menyebut karakter/ rahasia nama-nama benda yang tidak mampu dilakukuan para malaikat. Kemampuan manusia untuk menyebut karakter benda-benda disekitarnya, menurut ahli tafsir sebagai simbolisasi dari anugrah Allah yang diberikan kepada manusia sebagai makhluk yang memilki kemampuan untuk mengenali lingkungan. Kemampuan berpikir inilah yang menyebabkan timbulnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang menarik dari jalan cerita yang dipaparkan alQuran tadi adalah protes malaikat yang disertai dengan ucapan “Sedangkan kami para malaikat ini selalu memuji dan mensucikan Engkau”. Menanggapi protes malaikat ini seakan-akan Allah mengatakan bahwa untuk menjadi kholifah di muka bumi ini tidak cukup hanya dengan bertasbih dan memujiKu, namun diperlukan kemampuan yang lebih dari itu: IPTEK. Jadi dapat dikatakan bahwa modal utama yang diberikan Allah kepada manusia adalah pengetahuan. Dan inilah yang dipertaruhkan Allah di hadapan malaikat.

siapakah aku?

Perkenalkan, namaku (yang tertulis di KTP) Dewi Nikmatul Izzah. Nama panjang ini hanya aku pakai dalam pengisisan data identitas dalam dokumen-dokumen resmi. Di surat keterangan kelahiranku yang ditulis bu bidan (sampe sekarang aku ga punya akte kelahiran loh...) tercantum nama Ni'matul Izzah. Sehari-hari aku lebih senang memperkenalkan diri sebagai Ni'mah Izzah. Lebih ringkas. Nama panggilanku banyak. Dulu sih waktu balita aku dipanggil Izzah, tapi konon nama itu tak cocok denganku yang menyebabkan kondisi kesehatanku labil. Nah di sinilah perjalanan pencarian akan namaku dimulai. Wuih, bolak-balik ganti nama euy! Sampe bingung aku waktu itu...namaku tuh sapa sih?!Singkat cerita waktu ortuku menemukan panggilan yang dirasa pas mereka mengadakan jumpa pers dan dipublikasikanlah nama baruku untuk kesekian kali: Liyuhtada alias Yuda. Tapi ternyata itupun tak bertahan lama. Akupun back to nama asal, cuma panggilannya tetep. Inilah yang bikin buanyak orang mempertanyakan asal usul namaku, "Kok bisa dipanggil Yuda?"Seiring perkembangan jaman, 'Yuda' tetap kupertahankan walau dalam beberapa komunitas aku dikenal dengan panggilan Dewi, yang tak kusadari bagaimana dan sejak kapan jadi nama depanku. Tak apalah, artinya juga bagus kok. Dzawi (arab) : orang yang memiliki. dewi (ind) : sejenis dewa, tapi cewek.
Dari semua yang tersebut diatas, yang panggilan yang paling kusukai adalah yang baru akan kusebutkan ini: joe. Lho kok bisa? Ya bisa lah, masa ya bisa dong! Seingatku aku ngarang nama ini sama sepupu kesayanganku, Cheel (alias lilis) pas kelas 4 ( atw 5) SD. Waktu itu sih iseng aja. Eh, lha kok ternyata kebawa sampe gede. Yang familiar dengan nick name ini cuma sodara-sodara sama kawan-kawan dekatku.
Sekarang kalo ada orang yang tanya namaku aku jawab sekenanya aja, kadang-kadang aku malah pinjem nama mbakku: Nia atw Lia...hehe (ga termasuk pelanggaran hak cipta kan?)Akhirul kalam, monggo kerso teman-teman mau panggil aku apa, yang penting artiya bagus, ga nyleneh dan sesuai dengan kepribadianku yang baik hati dan suka menolong ini. hihihi
Salam...