welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Senin, 16 November 2009

Bahasa Amburadul

'Dek, aku siram dhisik..' teriakku pada adek sepupuku dari ujung pintu kamar. Kala itu, menjelang waktu ashar. Biasanya kami selalu berangkat bersama ke KM, pi karena ada hajat mendesak aku pamit meninggalkannya. 'Kok lucu sih mbak ngomongnya..' sahutan seorang teman sekamarku -yang ternyata diam-diam memperhatikanku- menghentikan langkah cepatku. Aku dan adekku mengerutkan dahi. 'Iya, masa bwt diri sendiri aja pake bahasa kromo inggil!' dia melanjutkan..Hmmm, bener juga. Siram memang adalah bahasa jawa tingkat tinggi berarti mandi yang biasanya diperuntukkan orarg yang lebih tua.
Aku jadi sadar kalau bahasa jawa yang sehari-hari kugunakan ternyata amburadul, melenceng sangat jauh dari pakem yang berlaku. Bahasa yang berlaku di keluargaku adalah modifikasi bahasa jawa, yaitu kolaborasi dari bahasa jawa kromo dan ngoko dengan campuran beberapa kosa kata bahasa indonesia yang sudah diadopsi menjadi bahasa jawa. Secara keseluruhan, bahasa kami terdengar aneh bagi mereka yang 'jawa banget'.
Yang paling sulit bagiku adalah ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua atau mereka yang harusnya ku hormati dengan penggunaan bahasa kromo inggil yang baik dan benar. Pfiuuh..sangat menyulitkan! That's why, saat berbicara dengan 'beliau-beliau' itu aku selalu bertutur dengan sangat perlahan. Bukannya sok kalem, pi aku masih butuh waktu sepersekian detik untuk berpikir. Ya, berpikir untuk mentraslit bahasa 'aneh'ku pada bahasa yang baku. Kadang untuk kosa kata yang tak kutemukan padanannya ku gunakan bahasa indonesia. Huh..pasti terdengar semakin aneh saja! Andaikan dinilai sopan, tentu dengan senang hati aku akan menggunakan bahasa indonesia, tapi sayangnya itu tak wajar dikalangan kami. Padahal bahasa Indonesia adalah bahasa yang egaliter, tak ada kasta di dalamnya. Tapi berbahasa jawa dengan baik, tentu member kami poin plus dihadapan lawan bicara kami.
Walau kami asli keluarga jawa, pi sssttt...tahukah kalian..nilai bahasa jawaku dulu tak pernah di atas angka 7. Begitu pula teman-teman sekelasku. Minat mempelajari bahasa asing lebih besar dari pada bahasa ibu sendiri. Fakta yang memprihatinkan. Karna itu tak mengherankan kalau ada bahasa-bahasa yang tak bisa bertahan, karena pewarisnya tak mau melestarikannya.

Kamis, 12 November 2009

Wawancara Imajiner dengan Hadlratussyeikh

Wawancara Imajiner dengan Hadlratussyeikh
Oleh: A. Mustofa BisriKetika Gus Dur menulis Wawancara Imajiner tentang Dr. Nurcholish Madjid di majalah Editor, dia memulai dengan ungkapan guyon cerdasnya: “Kalau dulu Christianto Wibisono mewawancarai Bung Karno secara imajiner, tidak berarti hak melakukan wawancara jenis itu menjadi monopolinya. Seandainya ia bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner tentang Dr. Nurcholish Madjid. Sebabnya? Karena Christianto menjadikan tokoh yang diwawancarai itu sumber berita. Sedang saya hanya sekedar ingin “berkangen-kangenan” secara imajiner dengan tokoh saya. Ungkapan yang sama bisa saya kemukakan sekarang ini untuk mengawali tulisan latah saya ini. Ungkapan saya berkangen-kangenan mungkin kurang tepat, meskipun sekedar imajiner; karenanya saya beri tanda kutip. Soalnya yang kangen hanya saya dan saya tidak menangi tokoh yang saya kangeni itu. Dari apa yang saya dengar tentang Hadlratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas mengenai Bapak NU ini; sehingga saya merasa seolah-olah saya menangi beliau. Dan ketika saya, baru-baru ini, dihadiahi Kiai Muchit Muzadi copi kitab susunan Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Bairut) berjudul “Al’allaamah Muhammad Hasyim Asy’ari Waadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia” (Mahakiai Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia) dan dua kopi khotbah Hadlratussyeikh, kangen saya pun menjadi-jadi. Keinginan untuk melakukan wawancara imajiner dengan beliau pun tak bisa saya empet. Tiba-tiba saja saya sudah berada dalam majlis yang luar biasa itu. Suatu halaqah raksasa yang menebarkan wibawa bukan main mendebarkan. Kalau saja tidak karena senyum-senyum lembut yang memancar dari wajah-wajah jernih sekalian yang hadir, niscaya tak akan tahan saya duduk di majlis ini. Mereka yang duduk berhalaqah dengan anggun di sekeliling saya itu tampak bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Sehingga rasa ngeri dan gelisah saya berkurang karenanya. Begitu banyak wajah –ratusan atau bahkan ribuan- memancarkan cahaya, menyinari majlis. Ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto dan cerita-cerita, ada yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, dan masih banyak lagi yang namanya pun tak saya ketahui. Itu tentu Kiai Abdul Wahab Hasbullah! Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak terhingga. Duduk di sampingnya, Kiai Bishri Syansuri, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Nawawi Pasuruan, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Maksum Lasem, Kiai Nahrowi Malang, Kiai Ndoro Munthah Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Faqih Gresik, Kiai Abdul Halim Cirebon, Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Mas Alwi, dan Kiai Abdullah Ubaid dari Surabaya. Yang pakai torbus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan yang di sampingnya itu Syeikh Abdul ‘Alim Ash-Shiddiqi. O, itu Kiai Saleh Darat, Kiai Subeki Parakan, Kiai Abbas Buntet, Kiai Ma’ruf Kediri, Kiai Baidlowi Lasem, Kiai Dalhar Magelang, Kiai Amir Pekalongan, Kiai Mandur Temanggung. Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Kiai Machfudz Shiddiq, Kiai Dahlan dan Kiai Ilyas. Saya melihat juga Kiai Sulaiman Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al-Habsyi Bogor, Kiai Djunaidi dan Kiai Marzuki Jakarta, Kiai Raden Adnan dan Kiai Masyhud Sala, Kiai Mustain Tuban, Kiai Hambali dan Kiai Abdul Jalil Kudus, Kiai Yasin Banten, Kiai Manab kediri, Kiai Munawir Jogja, Kiai Dimyati Termas, Kiai Cholil Lasem, Kiai Cholil Rembang, Kiai Saleh Tayu, Kiai Machfud Sedan, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Maksum Seblak, Kiai Abubakar Palembang, Kiai Dimyati Pemalang, Kiai Fakihuddin Sekarputih, Kiai Abdul Latief Cibeber, Haji Hasan Gipo, Haji Raden Mochtar Banyumas, Kiai Said dan Kiai Anwar Surabaya, Kiai Muhammadun Kajen, Kiai Muhammadun Pondohan, Kiai Siradj Payaman, Kiai Chudlari Tegalrejo, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Badruddin Honggowongso Salatiga, Kiai Machrus Ali Lirboyo, Kiai, Kiai … Dan di tengah-tengah lautan Kiai dan tokoh NU itu Hadlratussyeikh bersila dengan agung, dengan wajah sareh yang senantiasa tersenyum. Namun, betapa pun jernih wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir. Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan –setelah berhasil mengatasi rasa rendah diri yang luar biasa- adalah: “Hadlratussyeikh, saya lihat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh yang ada di sini begitu murung. Bahkan di kedua mata Hadlratussyeikh yang teduh, saya melihat airmata yang menggenang. Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang membuat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh berprihatin? Apakah gerangan yang diprihatinkan?” Hampir serempak, Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh tersenyum. Senyum yang sulit saya ketahui maknanya. Tampak Kiai Abdul Wahab Hasbullah sudah akan menjawab pertanyaan saya, tapi buru-buru Hadlratussyeikh memberi isyarat dengan lembut. Ditatapnya saya dengan senyum yang masih tersungging, seolah-olah beliau hendak membantu mengikis kegelisahan saya akibat wibawa yang mengepung dari segala jurusan. Baru kemudian beliau berkata dengan suara lunak namun jelas: “Cucuku, kau benar. Kami semua di sini, Alhamdulillah hidup dalam keadaan damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tak kurang suatu apa. Kalaupun ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam’iyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam’iyah ini akan semakin kompak dan kokoh. Semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggali bekal yang cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas dan tuntunan yang gamblang.” “Jam’iyah ini dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dan para pengikutnya; tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, tapi juga bagi khidmah kepada bangsa, negara dan umat manusia.” “Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khitthah kami telah berhasil dirumuskan secara jelas dan rinci; sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah-langkah perjuangan semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga Jam’iyah yang kaget, bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain saling bertengkar dan saling cerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaaf), tapi sudah ada yang saling membenci (tabaaghudl), saling mendengki (tahaasud), saling ungkur-ungkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu’). Padahal mereka, satu dengan yang lain, bersaudara. Sebangsa. Setanahair. Seagama. Seahlissunnahwaljama’ah. Sejam’iyah.” “Laa haula walaa quwwata illa billah…” gumam semua yang hadir serempak, membuat tunduk saya semakin dalam. Dan saya merasakan berpasang-pasang mata menghunjam ke diri saya bagai pisau-pisau yang panas. Sementara Hadlratussyeikh melanjutkan masih dalam nada yang sareh, penuh kebapakan: “Yang pada bertikai itu; sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mempertahankan prinsip Islami apa? Sehingga begitu ringan mereka mengorbankan persaudaraan yang agung?” “Sejak awal saya kan sudah memperingatkan, baik dalam mukaddimah Al-Qaanun Al-Asasi maupun di banyak kesempatan yang lain, akan bahayanya perpecahan dan pentingnya menjaga persatuan. Dengan perpecahan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan baik. Sebaliknya dengan persatuan, tantangan yang bagaimana pun beratnya, insya Allah, akan dapat diatasi.” “Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tapi tabaaghuudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu’ –apapun alasannya- hanya membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita.” “Kalau di dalam organisasi, tabaaghudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu’ itu merupakan malapetaka; maka apa pula namanya jika itu terjadi dalam tubuh organisasi ulama dan para pengikutnya?” Hadlratussyeikh menarik napas panjang, diikuti secara serentak oleh ribuan gunung kiai. Suatu tarikan napas yang disusul gemuruh dzikir dalam nada keluhan: Laa haula walaa quwwata illa billah… Saya sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kepada Hadlratussyeikh bahwa warga jam’iyah baik-baik saja –kalaupun ada sedikit ketegangan itu wajar, kini sudah membaik- tak ada yang perlu diprihatinkan, ketika tiba-tiba beliau berkata: “Kau tidak perlu menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tahu semua. Mungkin keadaan yang sebenarnya tidak separah yang tampak oleh kami, namun yang tampak itu saja sudah cukup membuat kami prihatin. Kami ingin khidmah dan yang dilakukan jam’iyah ini sebanding dengan kebesarannya,” “Lalu apa nasehat Hadlratussyeikh?” Pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa saya sadari. “Nasehatku; lebih mendekatlah kepada Allah. Bacalah lagi lebih cermat Mukaddimah Al-Qaanuun Al Asasi dan Khitthah Jam’iyah. Fahami dan hayati maknanya, lalu amalkan! Dan waspadalah terhadap provokasi kepentingan sesaat ! Itu saja!” Mendengar nasehat singkat itu, tanpa saya sadari, saya melayangkan pandangan ke wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadlratussyeikh itu tidaklah sesederhana yang saya duga. “Dan belajarlah berbeda pendapat!” seru sebuah suara yang ternyata suara Kiai Abdul Wahid Hasyim. “Berbeda pendapat dengan saudara adalah wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakan adalah jika perbedaan pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara.” Sekali lagi semuanya mengangguk-angguk lembut. Saya tidak bisa dan tidak ingin lagi meneruskan wawancara. Saya hanya menunggu. Ingin lebih banyak lagi mendengar nasehat. Tapi yang saya dengar kemudian adalah ayat Al-Quran yang dibaca dengan khusyuk oleh –masya Allah!- Kiai Abdul Wahab Hasbullah: “Washbir nafsaka ma’alladziena yad’uuna Rabbahum bilghadaati wal ‘asyiyyi yurieduuna wajhaHu walaa ta’du ‘ainaaka ‘anhum turiedu zienatal-hayaatid-dunya walaa tuthi’ man aghfalNaa qalbahu ‘an dzikriNaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthaa.” (“Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridhaanNya dan jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharapkan gemerlap kehidupan dunia ini dan jangan ikuti orang yang hatinya telah Kami lailakan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadaannya melampaui batas.”) Dan dengan berakhirnya bacaan ayat 28 Al-Kahfi itu, saya tak mendengar apa-apa lagi kecuali dzikir dan dzikir yang gemuruhnya serasa hendak mengoyak langit.

Minggu, 01 November 2009

Allah Tidak Kejam

Beberapa pekan terakhir ini rasa-rasanya dalam tiap tayangan berita di semua stasiun TV atau terbitan media cetak selalu diramaikan dengan kabar bencana alam yang silih berganti terjadi di hampir seluruh penjuru dunia. Di negeri kita saja, yang masih lekat dalam ingatan adalah gempa 7,3 SR di Tasikmalaya, disusul goncangan 7,8 SR di Padang yang dibarengi longsor di beberapa titik, banjir yang ironisnya bersamaan dengan kekeringan di beberapa wilayah lainnya, kebakaran hutan dan banyak peristiwa lainnya yang pastinya cukup banyak menguras air mata kita.
Apakah ini semua pertanda Allah Sang pencipta alam sedang marah? Kebanyakan orang berpikir demikian. Mereka lupa kalau Allah itu maha pengasih. Kasih sayang dan rahmatNya mengalahkan amarahNya. Allah tidak seperti kita yang jika peraturan yang kita buat dilanggar akan marah.
Al Quran menggunakan tiga kata untuk menjelaskan peristiwa yang tidak menyenangkan:
Pertama, MUSIBAH, untuk sesuatu yang tidak menyenangkan akibat ulah manusia. Al Quran mengisyaratkan, "tidak disentuh seseorang oleh musibah kecuali karena ulahnya sendiri".
Kedua, BALA, berupa sesuatu yang datang langsung dari Tuhan tanpa keterlibatan manusia, kecuali menerimanya. Dengan menurunkan bala, Allah SWT menguji untuk menampakkan kualitas seseorang.
Ketiga, FITNAH, yang dalam bahasa Al Quran berarti ujian atau siksaan. Allah SWT berfirman, berhati-hatilah terhadap fitnah (bencana) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang bersalah. Ini berarti bencana itu datang dari perbuatan seseorang atau kelompok, tetapi dampaknya mengenai orang yang tidak bersalah.
Ketiga hal itu hendaknya tidak membuat manusia berburuk sangka, baik terhadap manusia maupun kepada Allah. Mereka yang hanya berpikir tentang ’sekarang ’ dan ’di sini ’ menganggap suatu bencana tidak fair sebab juga mengenai orang yang tidak berdosa. Manusia tidak boleh mempersalahkan Allah karena Dia tidak pernah salah. Jangan pula melemparkan kesalahan kepada orang-orang tertentu tanpa bukti yang jelas. Sebab, boleh jadi justru yang menuduh itu penyebabnya. Yang terpenting adalah introspeksi dan semangat untuk memperbaiki diri.
Allah tidak kejam. Musibah yang terjadi itu mempunyai beberapa arti yang hanya Dia saja yang tahu.
Pertama, musibah itu memang boleh jadi merupakan hukuman Allah atas pembangkangan yang dilakukan manusia yaitu sebagai peringatan bagi yang bersangkutan agar segera bertobat. Manusia yang masuk dalam golongan musibah tipe ini, bila tidak sempat bertobat, sangat merugi. Karena di dunia dia dihukum, di akhirat pun dia tidak luput menerima hukuman
Kedua, musibah itu merupakan 'pencucian dosa' atas kesalahan yang dahulu pernah dilakukan. Mereka yang masuk golongan kedua ini adalah orang-orang yang bertakwa, dia sebenarnya 'beruntung'. Karena, musibah itu baginya berfungsi sebagai penebus dosa-dosanya, sehingga dengan demikian kesalahannya itu tidak akan diperhitungkan lagi di akhirat nanti.
Ketiga, makna musibah ketiga ini, yaitu sebagai ujian kenaikan peringkat di sisi Allah. Hal ini jelas nampak pada diri Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah orang yang paling dicintai Allah, sekaligus orang yang paling berat menerima musibah musibah-Nya.
Kita harus yakin bahwa apa pun musibah yang menimpa diri kita pada hakekatnya adalah baik. Allah tidak marah. Justru Dia sebenarnya ingin menolong agar kita terhindar masuk ke neraka. Bagi orang-orang yang bersalah musibah adalah peringatan, sedangkan bagi orang yang tidak bersalah dan terkena musibah itu, Allah menjadikan dia alat untuk mengingatkan orang lain. Ketika Allah SWT menjadikan seseorang sebagai alat atau sarana, tidak mungkin orang itu disia-siakan. Bencana itu menjadi sarana pelebur dosa dan peningkat derajat baginya. Masalahnya sekarang berpulang kepada kita sendiri. Mampu atau tidak kita menterjemahkan "signal" Allah itu.
Banyak musibah bisa dihindari -atau setidaknya diringankan- apabila setiap orang melakukan introspeksi, kembali kepada Tuhan, mohon ampunan, dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Kalaupun kita jatuh dari lantai 10 sebuah gedung, mudah-mudahan kita jatuh di atas tumpukan jerami.