welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Sabtu, 12 November 2011

Ustad Entertainment

Tiap kali tak sengaja berjumpa tayangan gosip yg menampilkan behind the scene kehidupan para ustad, Entah mengapa saya tidak bisa untuk tidak berkomentar. Komentar negatif pastinya. Dan saya hampir bisa memastikan, suami saya pasti risih mendengarnya. Mungkinkah saya iri melihat kehidupan meeka yang nyaris sempurna? ah saya rasa tidak. Ini semacam penolakan diri saya terhadap status ustad yang disandangkan pada mereka.

Begini kawan...sejak kecil, gambaran ideal seorang ustad atau kyai yang ada di benak saya adalah seperti ustad/ kyai yang diperkenalkan ortu kepada saya. Mereka orang-orang yang tawadhu', berilmu tinggi, tiap lakunya mencerminkan hikmah dan kearifan, tidak menonjolkan diri, penuh keikhlasan. Meski tak bisa dipungkiri mereka memang tak sempurna, namun itu manusiawi sekali. Pada orang-orang seperti itulah ortu menitipkan saya untuk berguru. Guru-guru saya itu...berguru pada gurunya selama belasan bahkan puluhan tahun, disertai riyadhah dan ketulusan untuk mengajarkan ilmu, sehingga tak heranlah pada guru sekaliber mereka kami rela menyerahkan nyawa. Baliau-beliau juga memiliki sanad keilmuan yang jelas, hingga tak sedikitpun ragu untuk mengikuti jejek beliau.( Mungkin inilah salah satu penyebab santri tak begitu kritis)

Fenomena dai muda yg kini sering saya jumpai...sungguh jauh dari bayangan ideal saya di atas. Tak dapat disangkal, cara penyampaian mereka memang menarik, hingga bisa diterima semua lapisan (kecuali saya mungkin). namun entahlah, saya tetap tak bisa menerimananya. Mematok tarif (ah, mungkin ini bukan sang ustad yg menentukan, tapi pihak menejemennya), mengobral kehidupan pribadi (bisa jadi ini bukan maunya si ustad, tapi pihak media yg memaksanya), kehidupan glamour bak selebritis (siapa tahu busana muslim karya desainer ternama yg selalu dikenakannya itu pemberian sponsor, jadi mubadzir kalo tidak dipakai) yang semuanya bertolak belakang dengan pemaknaan saya akan predikat dai.

Saya tak menampik, sangat sulit menemukan dai yang seperti gambaran ideal saya di atas, namun apa yang terlihat kini menampilkan segalanya dengan terlalu vulgar. Saya bahkan tercengang ketika seorang ustad bertitah di salah satu infotainment "..yah..karena kesibukan saya yang padat di dunia entertainment..bla bla bla.." What..entertainment??  Menganggap dakwah bagian dari dunia hiburan? Semoga yang saya dengar itu salah. (ah, dia kan juga mengisi sinetron. Mungin itu yg dia maksud dunia entertainment, bukan dakwahnya). Ini makin menjadikan predikat dai yang disandangnya absurd. Mungkin hampir tiba saatny di mana dia akan menjelma menjadi salah satu pilihan profesi yang menjajikan, hingga menjamur acara pencarian bakat dai muda. Rasulullah sudah meramalkan, akan datang datang suatu masa, yang pada masa itu banyak orang lihai berceramah namun sangat jarang yang berilmu. Imam Ghazali berkomentar: Mungkin inilah masa yang dikisahkan Rasul itu, sehingga beliau dan ulama sholih semasanya saling berpesan untuk mewaspadai bahayanya, padahal beliau wafat pada tahun 505 H. Bagaimana dengan kita menyongsong tahun 1433 H ini?

Ah...pagi pagi sudah menggunjing. Maafkan saya, Kawan. Penilaian ini bersumber dari kotornya hati saya. Saya terus mencari jalan tengah untuk segera menyudahi pergulatan batin saya ini, namun belum berhasil menemukan formulanya. Bagaimanapun, mereka masih jauuuh lebih baik dari saya. Bisakah kalian membantu?