Saya sejujurnya begitu terpesona dengan ucapan Descartes: “Aku berpikir maka aku ada”. Begawan matematika ini mengajak kita membuktikan eksistensi kita melalui pikiran yang kemudian diterjemahkan dalam wujud nyata, bukannya sibuk mencitrakan diri kita melalui seperangkat atribut materi yang melingkari tubuh kita. Namun, untuk saat ini saya lebih senang dengan ucapan saya sendiri: “Aku berpikir maka aku pusing!”.
Jangan berprasangka buruk dulu. Saya tidak pernah bermaksud menyia-nyiakan otak. Bukan pula saya lebih senang berbodoh-bodoh ria dengan tidak berpikir. Wah, bisa-bisa Pak Descartes bela-belain loncat dari kuburnya demi menjitak kepala saya...hiii.
Maksud saya adalah kita memang dianugrahi akal untuk berpikir, namun adakalanya rasionalitas terbentur oleh sebuah realita yang tak terjangkau akal kita. Ada saatnya berpikir, menganalisa, menentukan target dan menyusun strategi, namun ada garis batas yang tak bisa kita langgar. Garis itu adalah pemisah dari usaha dan hasil. Berusaha dengan segenap jiwa raga adalah tugas kita, sedangkan penentuan hasil adalah bagian dari takdir Allah. Kita tak bisa ikut campur terhadap hal-hal yang masuk ke ranah takdir. Di titik inilah berlaku idiom ‘aku berpikir maka aku pusing’.
Semut merah yang berbaris di dinding tentu akan menertawakan kita habis-habisan jika kita menghabiskan umur hanya untuk memikirkan hal yang bukan kewenangan kita. Apa gunanya kita memikirkan apa yang akan dilakukan Allah, sementara tugas yang seharusnya kita lakukan menjadi terbengkalai. Toh apa yang akan terjadi memang itulah yang seharusnya terjadi, dan akan tetap terjadi tak peduli kita mau atau tidak. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan dan meminta yang terbaik kemudian mengembalikan segalanya pada Dia.
Daripada kita jadi pusiiiing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar