Hubungan antara santri dengan kyai atau gurunya dapat dianalogikan seperti batang pohon dan rantingnya. Ranting itu akan bisa terus hidup, tumbuh memanjang dan akhirnya berbuah selama tak terlepas dari batangnya. Sama dengan santri, yang akan mampu mengaplikasikan dan mengembangkan potensi keilmuannya (baca: mendapat ilmu manfaat) selama dia tetap menjalin hubungan yang baik dengan lembaga tempatnya belajar serta segenap elemennya, bahkan setelah wafatnya sang guru ataupun selepasnya belajar di sana.
Jalinan ini terwujud dalam tradisi 'sowan pada kyai' yang populer di dunia pesantren. Jika memang tidak memungkinkan bersilaturrahmi -karena berbagai alasan- maka doa dianggap cukup mewakili keinginannya untuk tak terpisah dari ' Sang batang pohon'. Namun sesungguhnya, subtansi dari semua itu adalah tekat santri untuk terus mengamalkan ajaran Sang Guru, berjalan pada koridor yang telah beliau tunjukkan, dan memegang teguh norma-norma kebenaran dan adab yang didapatnya dari sang kyai, yang sebelumnya beliau dapat dari gurunya dan demikian seterusnya hingga mata rantai ajaran ini bermuara pada rasulullah saw.
Santri dikenal memiliki loyalitas yang tinggi dan ikatan emosional yang kuat terhadap Sang Guru karena mengharap keberkahan dari ilmu dan ketakwaan beliau. Hubungan antara kyai dengan santri adalah hubungan sosial yang didasarkan dan diikat oleh moralitas keagamaan (religion morality’s tied), bukan oleh upah atas jasa mendidik, atau mengajar kepada santri dalam jumlah waktu yang tidak dibatasi. Seringkali kita dengar kisah santri-santri yang sebenarnya tak begitu bersinar prestasi akademiknya, namun karena keikhlasan dan ketaatan mereka pada kyai mereka mendapat keberkahan ilmu yang sangat didamba siapapun. Kalau 1 + 1 =2 dalam logika kita, maka dengan adanya barakah hasilnya bisa berpuluh bahkan beratus kali lipat.
Hal ini dapat dimengerti, mengingat pesantren adalah lembaga edukasi yang tujuan pembelajarannya bukan hanya berorientasi pada transformasi pengetahuan dan keterampilan, namun lebih pada pembentukan karakter. Dalam proses pembentukan karakter ini figur dan prestasi sang kyai lantas menjadi sosok ideal (the ideal type) yang kemudian dijadikan acuan keteladanan bagi santri-santrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar