welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Sabtu, 07 Februari 2009

Membaca Kitab Kehidupan (1)

Di sini dikisahkan tentang seorang Gus dari sebuah pesantren di daerah Jawa Barat. Suatu hari dia mengatakan pada temannya bahwa sebagai santri dia selalu dibawa ke masa lalu. Pasalnya, bacaan wajib para santri adalah kitab-kitab yang ditulis ratusan tahun yang lalu. Kitab-kitab tersebut (baik fikih, kalam, tafsir, maupun politik) tentu saja mewakili nafas zamannya. Yaitu, nafas ketika para cendekia Islam berbicara dari mimbar masanya jauh di seberang sejarah.
Dia tidak menemukan pengetahuan kemanusiaan yang nyata, yang benar-benar menjadi realita hari ini dan di sini. Yang mendominasi topik bahasan di pesantren adalah ilmu agama yang dipahami dalam kacamata masa lalu dan dipelajari untuk menggapai kebahagiaan di seberang kehidupan dunia. Lalu kapan orang akan punya perhatian terhadap kehidupan nyata yang benar-benar dihadapi sat ini? Padahal kekini dan di sini-an adalah ruang sejarah di mana kita hadir dan harus meng-aktualisasikan diri.
Sebenarnya mempelajari karya klasik para cendekia abad pertengahan bukanlah hal yang sia-sia. Kita bisa menengok kearifan mereka, mempelajari metode serta memetakan jalan pikiran mereka. Mengingat hingga kini, semenjak kejumudan ilmuwan muslim dimulai pada masa runtuhnya Baghdad, tak banyak kita temukan ilmuwan yang kualifikasinya sejajar dengan para tokoh di jaman keemasan. Tanpa bermaksud mengungkit kegemilangan masa lalu, Namun tidak dapat dinafikan, selama beberapa abad dari abad kesembilan hingga abad kesembilan belas umat Islam merupakan pimpinan intelektul di segala bidang, bahkan sains dan teknologi. Sebagai muslim tentunya kita bangga dengan lintasan yang gemilang dalam sejarah peradaban Islam itu.
Namun tentu yang tak kalah pentingnya adalah menerjemahkan kandungan literatur-literatur klasik itu ke dalam konteks kekini dan disini-an serta melengkapinya dengan berbagai bidang ilmu 'masa kini' yang perkembangannya begitu dinamis. Merambah berbagai realitas kekinian, dan menyelami beragam kelompok masyarakat tanpa kehilangan identitas sebagai santri. Dengan demikian kita bisa menampilkan wajah pesantren (salaf) yang sederhana dan tetap teguh mempertahankan tradisi salaf al-shalih sebagai ruh utamanya. Namun, sangat modern dalam arah pandang dan paradigma berpikir, sehingga mampu memperlihatkan ketangkasannya menyikapi akselerasi zaman secara elaboratif. Prinsipnya, Al muhafadzah 'ala al qadiim ash shalih wa al akhdzu bi al jadiid al aslah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar