Banyak kalangan mulai mempertanyakan kemampuan pesantren dalam menjawab tantangan kemajuan jaman. Agaknya, selain meragukan kualitas akademik alumni pesantren mereka juga menilai dunia pesantren sengaja membangun 'komunitas eksklusif' yang membuatnya enggan membuka diri serta bersinggungan dengan berbagai realitas yang tengah terjadi di masyarakatnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya tudingan tersebut, yang jelas dunia pesantren harusnya menjadikan isu itu sebagai kritik konstruktif yang memacunya untuk terus berbenah, salah satunya dengan kembali membudayakan tradisi literat di kalangan akademisinya. Tak dapat dipungkiri bahwa para kiai terdahulu tak hanya menyandang predikat agamawan, namun juga budayawan serta sastrawan. Kiai dahulu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap budaya serta mampu melahirkan karya-karya bermutu. Tradisi menulis seolah menjadi rutinitas sehari-hari setelah mengajar santri. Tiada hari tanpa mengajar dan menulis, mungkin itu motto hidup kiai di masa lalu.
Tradisi menulis di pesantren sudah dimuai sejak lama, bahkan semenjak zaman para wali songo dengan Tembang Dandang Gulanya (Sunan Kalijaga), Sinom (Sunan Muria) dan seterusnya. Shalawat Badar karya Kiai Ali Mansur Tuban juga amat populer dan menjadi shalawat wajib bagi kaum sarungan. Siapa yang tak kenal dengan syair 'Tombo Ati' yang amat populer itu. Begitu populernya karya ini nyaris jadi bacaan wajib di surau-surau di pedalaman jawa. Belum lagi lir-ilir gubahan Sunan Kalijogo yang tak kalah kesohor.
Era selanjutnya diisi oleh Raden Ronggowarsito dengan Serat Kalatida, Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Mahfudz Termas, Syeikh Hamzah Fanshuri, Syeikh Abdur Rauf Sinkel Aceh, Syeikh Khatib Sambas, Syeikh Ihsan Jampes. Menantu Kiai Siddiq, yaitu Kiai Abdul Hamid Pasuruan, tak kalah kreatif. Ia mensyairkan Sullam At Taufiq --sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak ghozalian dan menjadi maistream pemahaman Islam Sunni Indonesia-- dalam 553 bait. Selain itu, ia juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal dengan Al Asma' Al Husna. Pada era modern tradisi menulis di pesantren diwakili oleh KH Wahid Hasyim, KH Saifuddin Zuhri, KH Bisri Musthafa. Pada era 1980-an ada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Musthafa Bisri (Gus Mus) dan seterusnya.
Tapi, sayangnya tradisi menulis dan kerja-kerja budaya kiai telah jarang dan tak banyak diwarisi oleh kiai-kiai (dan santri) sekarang. Apalagi, beberapa tahun terakhir, terlalu banyak aktivitas di luar yang mereka geluti, terutama di kancah politik. Proses kreatif yang dulu mampu menghasilkan karya-karya monumental tak ada lagi, sehingga tradisi menulis di institusi pendidikan tertua di Indonesia itu terancam mandek atau bahkan mati.
Kini sudah saatnya tradisi literat kembali dihidupkan di lingkungan pesantren. literasi, dalam arti sederhana, berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks yang labih luas, literasi bisa diartikan melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Dari definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang diperlukan bukan sekedar membaca, namun juga berpikir kritis. Tak hanya rajin mencari rujukan dari teks yang tertulis, tapi juga mengkaji kitab kehidupan yang terbuka lebar. Amat disayangkan, teks yang dibaca terkadang lewat atau mengendap begitu saja tanpa menghasilkan manfaat apapun. Di sinilah mutlak dibutuhkan kemampuan mengikat makna dari bacaan tersebut, melengkapinya dengan berbagai referensi dan kemudian mereproduksinya. Inilah tujuan dari membaca kritis yang rupanya masih belum dimiliki oleh sebagian besar santri. Para santri harusnya bermetamorfosis dari obyek yang pasif menjadi subyek yang aktif. Berani mengkaji apapun dan mengambil kebenaran dari manapun, tak hanya menunggu ceramah para ustadz di depan kelas.
Tumbuhnya media internal di kalangan santri, patut diberikan apresiasi. Sebagai agen perubahan sosial, santri diharapkan tidak hanya piawai mentransfer ilmu lewat kata, tetapi juga tulisan. Dokumentasi literasi ini sangat dibutuhkan agar bisa dilacak oleh lintas generasi. Sekarang ini, budaya santri literat mutlak dibutuhkan agar kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan institusi pendidikan lainnya. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar