Jumat siang kemarin aku sempatkan waktu mampir ke perpustakaan umum kota di jl. Ijen. Inilah tempat favoritku, tempat aku lari dari kenyataan. Setidaknya di sini aku bisa sejenak melepaskan beban pikiran dan menjelajahi berbagai sudut dunia, berkenalan dengan orang-orang hebat dan menelusuri peradaban klasik dengan imajinasiku. Entah mengapa, tak seperti biasanya hampir 30 menit berlalu dan aku belum bisa memfokuskan pikiran pada deretan huruf yang ada di depanku. Semua yang terbaca hanya sekedar berkelebat di mataku tanpa aku mampu menangkap maksud di dalamnya.
Ku tinggalkan tumpukan buku di meja, beranjak ke sudut perpus tempat 8 unit PC yang tersambung dengan koneksi internet, layanan khusus untuk pemegang kartu anggota perpustakaan. Kuputuskan untuk berkelana di dunia virtual saja, sayangnya semua unit sedang terpakai. Kembali ku telusuri rak-rak buku yang berderet dengan malas, sampai aku terhenti di rak buku dengan tag biografi dan memoar. Kutemukan 1 judul yang menarik di sana: 168 Jam Dalam Sandera. Memoar ini ditulis Meutya Hafidz -my fave anchour yang sekarang menyeberang ke dunia politik- berdasarkan pengalaman pribadinya menjadi sandera mujahidin Irak ketika melaksanakan tugas jurnalistiknya Februari 2005 silam.
Buku ini memang bukan new release, cetakan pertamanya September 2007, tapi buku ini tetap menarik untuk dibaca (buku kan tak ada tanggal expirednya). Ditulis dengan gaya novel flashback, memoar ini sungguh menarik. Sisipan pergulatan batin penulis membuat pembaca serasa ikut mengalami sepekan drama penyanderaan itu. Mengharukan dan menyentuh. Dia menceritakan bagaimana awal keterkejutannya dijemput paksa oleh 3 lelaki bersenjata di POM Bensin di Ramadi dalam perjalanannya ke Bagdad. Ketegangan terus berlanjut sampai ketika dia, rekannya Budiyanto dan Ibrahim, sopir berkebangsaan Yordania yang di sewanya ditinggalkan di sebuah gua sempit di padang pasir yang masuk wilayah konflik pejuang Irak dengan pasukan koalisi dengan 3 penjaga.
Dia menceritakan bagaimana tersiksanya dia sebagai jurnalis yang terbiasa dinamis harus diam dalam ketidakpastian dan ancaman maut yang terus mengintai. Namun di luar dugaan, persahabatan yang tulus terjalin di gua kecil itu, antara yang tersandera dengan para penyandera. Perlakuan baik ditunjukkan para penyandera itu bak mereka menghormati tamu jauh, namun bagaimanapun penyanderaan itu –berapapun lamanya– merupakan tindakan perampasan hak-hak manusia. Dikisahkan pula berbagai usaha diplomasi yang dilakukan pemerintah RI dan kru Metro TV untuk membebaskan dua wartawan ini. Di akhir buku, Marty Natalegawa, jubir deplu RI menuturkan dengan runtut upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi anak bangsany di negeri orang ini.
Yang menarik, menurutku, ditulis di salah satu bagian bahwa di tengah keputusasaan saat usaha tak lagi ada jalan dan semua materi yang dimiliki tak membantu satu-satunya yang kita miliki adalah ALLAH, pelindung kita yang MAHA KUASA. Tak ada yang tak mungkin bagiNYA. Dengan pasrah dan meminta pertolongan kepadaNYA semua kesulitan yang terjadi akan terasa ringan kita menjalaninya. Iman yang teguh akan menuntun kita keluar dari kemelut. Tak hanya dalam penyanderaan, dalam semua kasus ketidakpastian dalam hidup ini, satu yang pasti: DIA selalu bersama hambaNYA yang mau berserah diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar