welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Sabtu, 14 Februari 2009

Musim Buah Parpol

Kawan, musim hujan identik dengan musim buah. Ada Durian, Rambutan, Jambu biji, Jeruk bahkan beraneka Pisang (kalo yang satu ini sih tak kenal musim!). Tapi terkadang jenis buah yang sedang 'in' di suatu daerah berbeda dengan yang lagi marak di daerah lain. Tahukah kalian, ada satu jenis buah yang kompak menjadi trend di seluruh wilayah negeriku Indonesia saat ini, mulai Sabang sampai Merauke (kecuali Timor Timur pastinya): pohon berbuah atribut partai! Baik berupa bendera, baliho, spanduk, stiker atau apapun itu yang bergambar logo parpol ataupun foto calegnya, tersedia mulai ukuran S sampai XXXL. Hebatnya, tak hanya pohon, bahkan lengan jembatan, dinding, atap rumah sampai tiang listrik pun kini ramai berbuah aneka warna.
Melihat fenomena jor-joran 'sampah' parpol itu, yang terlintas di benak orang awam macam saya hanyalah: "Jangan sekali-kali memilih partai atau caleg yang tak punya wawasan keindahan dan kelestarian lingkungan!"
Melintasi jalan-jalan kota yang begitu semarak warna-warni, saya berpikir sederhana saja: sebenarnya untuk apa mereka memasang semua atribut itu? Apakah dengan pemasangan itu mereka akan mendapat dukungan pemilih? Rasanya, walau sebodoh-bodohnya pemilih, saya takkan memilih seseorang atau suatu partai hanya karena melihat gambarnya bertebaran di ketiak pohon-pohon peneduh jalan.
Yang saya pahami dari tulisan Pak Bramastia, ketika upaya membangun eksistensi politik hanya sebatas melalui bendera, justru akan menunjukkan sikap narsis dari para politisi yang sebenarnya. Meneguhkan identitas tak cukup dengan simbol belaka. Seolah-oleh mereka ingin mengaburkan opini masyarakat -untuk tidak mengatakan membodohi- dengan mengklaim keberadaan bendera sebagai parameter politik. Semakin banyak atribut yang terpasang, berarti semakin tak terhitung pula massa pendukungnya, mungkin itulah yang ingin mereka umumkan. Agaknya, mereka paham betul akan watak sebagian (besar atau kecil?) rakyat Indonesia yang menganut paham latahisme, suka ikut-ikutan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, hanya berdasarkan asumsi bahwa yang pantas diikuti adalah kelompok yang (tampaknya) memiliki banyak pengikut.
Mestinya mereka memakai cara yang lebih terpelajar untuk memancing simpati pemilih: Setia pada ideologi partai, sosialisasi visi dan misi yang relistis, menunjukkan komitmen untuk mewujudkan kemakmuran disertai pembuktian melalui program nyata politik (bukan sekedar ritual pengibaran bendera sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya). Seharusnya mereka mempelajari dan menganalisis lebih dalam kultur politik, ekonomi dan relasi sosial masyarakat setempat, yang selanjutnya bisa menjadi ide-ide brilian untuk lebih mendekatkan diri dengan rakyat, bahkan bisa jadi mungkin jauh lebih efektif dibanding memasang spanduk dan baliho di pinggir jalan. Dan yang lebih diutamakan rakyat hari ini, adalah materi kampanye harus sesuai dengan kondisi masyarakat sehari-hari dan juga tindakan nyata dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dari sang Caleg, seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie “Ide yang turun dari langit dan tidak membumi tidak kuat akarnya."
Melihat realitas politik "semu" saat ini, kita harus teliti menilai wajah politisi bangsa ini sesungguhnya. Inilah momentum untuk kita rakyat jelata membuktikan diri sebagai warga yang cinta pada negeri tanah air tumpah darahnya: dengan menentukan pilihan secara CERDAS!
Tulian ini saya buat berdasarkan kebodohan saya akan dunia politik, bila ada kawan yang berkenan berbagi pengetahuan, tentu akan sangat berharga.

1 komentar:

  1. Semoga kesadaran anda dapat membuka mata hati rakyat Indonesia

    salam
    Bramastia

    BalasHapus