welcome to my world

Sesamar apapun, jejak kaki kita akan terus menjadi sejarah

Kamis, 14 Mei 2009

Learn to Love

Banyak hal-hal yang salah tapi karena terlanjur menjadi kebiasaan (jawa:kaprah) maka tak lagi dianggap keliru, itulah yang dinamakan salah kaprah. Salah satu kasus salah kaprah yang ingin saya angkat kali ini adalah tentang 'jatuh cinta'. Ketika mendengar kata ini yang terpikir di benak kita adalah bayangan tentang indahnya rasa yang (konon) bisa membuat orang serasa melayang-layang. Yang membuat saya heran, kita -sadar atau tidak- malah menyebut proses yang menyenangkan itu sebagai suatu kecelakaan dengan mengistilahkannya sebagai 'jatuh cinta', padahal jatuh itu bukanlah hal yang diinginkan siapapun. Cinta juga bukanlah suatu kebetulan, namun suatu peroses pembelajaran. Saya lebih senang menyebutnya dengan learn to love bukan fallin love. Mencintai tak hanya sebatas perasaan antara lelaki-perempuan, tapi lebih luas mencakup seluruh perasaan sayang kepada keluarga, kawan, bahkan seluruh makhluk.
Cinta adalah proses pembelajaran, belajar untuk mengenal diri sendiri dan orang yang dicintai. Belajar untuk menerimanya dengan segala tentang dirinya. Belajar kompromi atas segala perbedaan. Belajar untuk meleburkan kata 'aku' dalam 'kita'. Suatu proses menarik yang berlangsung seumur hidup. Lebih jauh, mencintai sesama itu suatu tahapan awal untuk mencintai Allah. Tak ubahnya murid TK yang diawal pembelajarannya hanya mampu merespon hal yang konkret, kita pun akan sulit mencintai dan mengenal Allah, dzat yang ghaib jika kita belum mampu mencintai yang konkret yang dekat dengan kita, dimulai dari keluarga, pasangan, kawan dsb. Setelah berlatih mengalahkan ego kita dengan memprioritaskan kepentingan orang yang kita cintai, di situlah kita harus secara bertahap mengembangkan kepribadian kita dengan mencintai Allah, sumber segala cinta. Mencintai Allah dimulai secara hierarkis dengan mencintai RasulNya, mencintai segala perbuatan yang bisa mendekatkan kita padaNya, mencintai semua makhluk ciptaannya melebihi cinta kita pada diri kita sendiri.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menyatakan adalah sebuah kebohongan besar bila seseorang mencintai sesuatu tetapi ia tidak memiliki kecintaan kepada sesuatu yang lain yang berkaitan dengannya. Al-Ghazali menulis; "Bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah swt. tetapi ia tidak mencintai Rasul-Nya; bohonglah orang yang mengaku mencintai Rasul-Nya tetapi ia tidak mencintai kaum fuqara dan masakin; dan bohonglah orang yang mengaku mencintai surga tetapi ia tidak mau menaati Allah swt." Semua itu pada hakikatnya mengajarkan kita untuk mencintai hal-hal yang bersifat abstrak. Nilai tasawuf yang paling penting adalah kecintaan kepada Allah swt.

2 komentar:

  1. wahhh... baguz bgt neh artikel x

    selamat nilai tasawuf anda meningkat jadi 8,

    BalasHapus
  2. Ya....kita harus tawakkal aja sama Allah SWT

    BalasHapus